"Mm...maaf. Ss...saya tidak mengerti maksud Bapak"
"Selamat. Mulai besok, Pak Yandi tak perlu repot-repot menyusun proposal seperti ini," katanya sambil menunjuk proposal yang kususun berhari-hari itu.
"Mm...maksud Bapak ?"
"Pak Yandi dipecat !"
Petir dan halilintar di siang bolong mungkin tak akan terlalu membuatku terkejut. Aku tak menduga sedikit pun akan seperti ini. Aku baru sempat membayangkan akan mendapat dampratan super kejam dan sedikit pemotongan gaji serta keharusan lembur beberapa hari. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku terima juga amplop berisi surat pemecatanku itu dengan perasan hancur lebur. Remuk.
**
"Mila ! Hentikan ! Hentikan ! Jangan bertindak bodoh !" Kagetku bukan alang kepalang mendapati pemandangan mengerikan ini. Adik perempuanku berdiri di kursi di atas meja makan. Matanya yang indah dan selalu berseri itu, tampak sembab. Bekas-bekas lelehan air mata menyisakan parit-parit kering di pipinya. Wajah yang kusut dengan rambut acak-acakan, menambah kesan kesedihan yang dalam. Mila tampak begitu menderita. Tertekan. Di depan wajahnya, sebuah bulatan tali yang tergantung pada kayu palang langit rumah, menyeringai. Mencemooh.
Segera aku memburunya. Melepaskan tangannya dari tali bodoh itu. Aku coba menenangkannya dan membawanya turun. Tangisnya seketika luruh di dadaku, dalam pelukan kakaknya semata wayang. Aku biarkan saja ia menumpahkan semua kesedihannya. Penderitaannya. Hanya aku yang tersisa, tempatnya mengadu dan berlindung.
"Hendra, Kak. Hendra...uhu...hu...," katanya di sela isak tangisnya, sambil menunjuk laci lemari bajunya.
***
Aku baru selesai shalat ashar. Pintu rumahku ada yang mengetuk. Bu Anwar, pemilik rumah yang kami tempati ini. Dulu ini memang rumah kami. Satu-satunya yang ditinggalkan orang tua kami. Tapi sejak tiga tahun yang lalu rumah ini telah berpindah tangan kepadanya. Aku menjualnya, untuk biaya sekolah kedua adikku. Mila masuk SMA dan Wawan masuk SMP. Beruntung sekali waktu itu Bu Anwar berbaik hati mengizinkan kami tinggal sampai kedua adikku lulus.