Mohon tunggu...
Indani Ainun Fajriah
Indani Ainun Fajriah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jadilah pribadi yang bermanfaat, kapan pun dan dimana pun kita berada.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kisah di Atas Bentala - Sandaran Ternyaman (Bagian I)

9 Oktober 2024   10:35 Diperbarui: 9 Oktober 2024   10:39 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

"Rosa, semuanya sudah selesai tinggal disalatkan saja," samar-samar Agnesh mendengar suara Ibu-Ibu yang ikut serta dalam pemakaian kain kafan Aurel tadi.


Bapak-Bapak pembawa keranda yang sedari tadi menunggu di depan menyembulkan kepalanya mendengar suara tadi. "Menunda-nunda pemakaman bukan hal yang baik, langsung dibawa ke masjid saja biar langsung disalatkan."


Dengan Sisa tenaga yang hanya tinggal seperkian persen, Agnesh berusaha bangkit dari pelukan Rosa. Matanya bengkak dengan hidung yang berwarna merah. Dia menolehkan kepalanya menghadap kearah Aurel yang telah terbungkus kain kafan.


"Aurel?" Agnesh beringsut berusaha ke arah Aurel tetapi Ibu-Ibu tadi menahannya.


"Jangan Mbak, jenazah sudah dimandikan."


Agnesh terisak hebat dengan tangan yang memegangi dadanya. "Aurel, kamu kenapa ngelakuin itu, Rel? Kenapa kamu ninggalin aku? Kita belum pergi jalan-jalan lagi, kamu waktu itu pernah janji mau bawa aku ke pasar malam kan, ayo bangun Rel!"


Rosa membekap mulutnya agar tak mengeluarkan isakan. Tangisan Agnesh membuat hatinya semakin pilu. Rosa mendekat. "Agnesh, sudah ya sayang. Kita harus bisa ikhlasin Aurel, biar dia juga tenang disana."


Pelukan kembali Rosa berikan, membuat tangisan dari Agnesh lagi dan lagi menguar. Tiba-tiba dari arah pintu datang seorang ustadz yang akan menyalatkan jenazah Aurel. "Ibu, bagaimana jika langsung kita salatkan saja?"


Rosa hanya memberikan respon anggukan, mulutnya kelu tak sanggup lagi untuk berbicara. Empat orang langsung mendekati jenazah Aurel dan menggendongnya dengan hati-hati. Setelahnya mereka meletakkannya dikeranda. Lalu, empat orang itu mulai berdiri disisi keranda bersiap untuk mengangkat jenazah Aurel menuju musholla yang terletak di depan kediaman keluarga duka.
"JANGAN, JANGAN BAWA AUREL!!" Teriak Agnesh histeris.


Rosa semakin mengeratkan pelukan pada tubuh Agnesh. Jika tidak, dia yakin Agnesh akan menghentikan para pelayat yang akan melakukan proses salat dan pemakaman Aurel. "Sudah sayang sudah, Aurel pasti sedih disana ngeliat kamu kaya gini Agnesh."


Tangan Agnesh memukul-mukul dadanya. Tuhan? Kenapa rasanya semenyesakkan ini? Jika boleh memilih, Agnesh lebih memilih dikasari Ayahnya tanpa ampun dari pada melihat sandaran ternyamannya pergi dan tak akan kembali lagi.


Dulu, penguatnya adalah Aurel. Pendukungnya adalah Aurel. Penopangnya adalah Aurel. Namun, gadis itu sekarang benar-benar pergi. Agnesh tak lagi memiliki tiang penyangga untuk kehidupannya. Sanggupkah untuk selanjutnya Agnesh menghadapi kekejaman dunia ini sendiri?


"Agnesh?"

Dari arah samping, datang seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Dia adalah Morland, lelaki yang sudah mengabarinya perihal kematian Agnesh padanya.


Agnesh menengadahkan kepalanya guna melihat siapa yang memanggil. Morland sangat kaget saat melihat kondisi Agnesh. Mata yang bengkak dan hidung yang berwarna merah seakan menggambarkan betapa sakitnya gadis itu ditinggal sahabatnya seorang diri.
Morland tahu, bahwa selama ini Agnesh tak pernah benar baik-baik saja. Dibuktikan dari luka-luka serta lebam yang selalu saja diperbarui setiap harinya.

Rosa yang mengetahui bahwa Morland adalah teman dari Agnesh sekaligus Aurel akhirnya menitipkan Agnesh untuk sementara karena dia akan ikut pergi untuk pemakaman anaknya. "Morland, Tante titip Agnesh sebentar ya? Tante mau ikut makamin Aurel."

Morland mengangguk mengiyakan, dirinya non-islam jadi tidak ikut acara pemakaman temannya. "Iya Tante, gapapa pergi aja, Agnesh bisa sama saya."

"Enggakk Tante, Agnesh mau ikut makamin Aurel. Agnesh mau ikut nganterin Aurel ke tempat peristirahatan terakhirnya," ujar Agnesh dengan tatapan sayunya.

"Nanti ya Agnesh, nunggu pemakamannya selesai. Setelah itu kamu bebas mau datang kapan saja," Rosa mencium pucuk kepala Agnesh dan berlalu pergi menyusul para pelayat yang mungkin sudah membawa jenazah anaknya menuju tempat pemakaman.
Agnesh hanya terdiam menatap punggung Rosa yang semakin menjauh dari pandangannya. Rosa benar, mungkin sebaiknya dia menunggu pemakaman selesai. Jika tidak, mungkin dia akan mempersulit pemakaman sahabatnya itu karena tangisannya. Tak baik menunda-nunda pemakaman.

Morland menatap Agnesh dengan pandangan iba. "Sabar ya Agnesh, gue tahu kok lo itu salah satu orang yang kuat."

"Aurel... Aurel Lan, dia nianggalin aku sendiri," ujar Agnesh dengan suara seraknya.

Melihat Agnesh yang semakin menangis, Morland dengan refleks merengkuh tubuh gadis ringkih itu. "Agnesh, lo nggak sendiri. Masih ada banyak orang yang sayang sama lo Nesh. Udah ya?"

Agnesh hanya diam dalam dekapan Morland, dia sudah lelah menangis tapi air matanya enggan untuk berhenti mengalir.

Bersambung...

Stay tuned yaa ^_^

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun