Dulu, penguatnya adalah Aurel. Pendukungnya adalah Aurel. Penopangnya adalah Aurel. Namun, gadis itu sekarang benar-benar pergi. Agnesh tak lagi memiliki tiang penyangga untuk kehidupannya. Sanggupkah untuk selanjutnya Agnesh menghadapi kekejaman dunia ini sendiri?
"Agnesh?"
Dari arah samping, datang seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Dia adalah Morland, lelaki yang sudah mengabarinya perihal kematian Agnesh padanya.
Agnesh menengadahkan kepalanya guna melihat siapa yang memanggil. Morland sangat kaget saat melihat kondisi Agnesh. Mata yang bengkak dan hidung yang berwarna merah seakan menggambarkan betapa sakitnya gadis itu ditinggal sahabatnya seorang diri.
Morland tahu, bahwa selama ini Agnesh tak pernah benar baik-baik saja. Dibuktikan dari luka-luka serta lebam yang selalu saja diperbarui setiap harinya.
Rosa yang mengetahui bahwa Morland adalah teman dari Agnesh sekaligus Aurel akhirnya menitipkan Agnesh untuk sementara karena dia akan ikut pergi untuk pemakaman anaknya. "Morland, Tante titip Agnesh sebentar ya? Tante mau ikut makamin Aurel."
Morland mengangguk mengiyakan, dirinya non-islam jadi tidak ikut acara pemakaman temannya. "Iya Tante, gapapa pergi aja, Agnesh bisa sama saya."
"Enggakk Tante, Agnesh mau ikut makamin Aurel. Agnesh mau ikut nganterin Aurel ke tempat peristirahatan terakhirnya," ujar Agnesh dengan tatapan sayunya.
"Nanti ya Agnesh, nunggu pemakamannya selesai. Setelah itu kamu bebas mau datang kapan saja," Rosa mencium pucuk kepala Agnesh dan berlalu pergi menyusul para pelayat yang mungkin sudah membawa jenazah anaknya menuju tempat pemakaman.
Agnesh hanya terdiam menatap punggung Rosa yang semakin menjauh dari pandangannya. Rosa benar, mungkin sebaiknya dia menunggu pemakaman selesai. Jika tidak, mungkin dia akan mempersulit pemakaman sahabatnya itu karena tangisannya. Tak baik menunda-nunda pemakaman.
Morland menatap Agnesh dengan pandangan iba. "Sabar ya Agnesh, gue tahu kok lo itu salah satu orang yang kuat."
"Aurel... Aurel Lan, dia nianggalin aku sendiri," ujar Agnesh dengan suara seraknya.
Melihat Agnesh yang semakin menangis, Morland dengan refleks merengkuh tubuh gadis ringkih itu. "Agnesh, lo nggak sendiri. Masih ada banyak orang yang sayang sama lo Nesh. Udah ya?"