"Rosa, semuanya sudah selesai tinggal disalatkan saja," samar-samar Agnesh mendengar suara Ibu-Ibu yang ikut serta dalam pemakaian kain kafan Aurel tadi.
Bapak-Bapak pembawa keranda yang sedari tadi menunggu di depan menyembulkan kepalanya mendengar suara tadi. "Menunda-nunda pemakaman bukan hal yang baik, langsung dibawa ke masjid saja biar langsung disalatkan."
Dengan Sisa tenaga yang hanya tinggal seperkian persen, Agnesh berusaha bangkit dari pelukan Rosa. Matanya bengkak dengan hidung yang berwarna merah. Dia menolehkan kepalanya menghadap kearah Aurel yang telah terbungkus kain kafan.
"Aurel?" Agnesh beringsut berusaha ke arah Aurel tetapi Ibu-Ibu tadi menahannya.
"Jangan Mbak, jenazah sudah dimandikan."
Agnesh terisak hebat dengan tangan yang memegangi dadanya. "Aurel, kamu kenapa ngelakuin itu, Rel? Kenapa kamu ninggalin aku? Kita belum pergi jalan-jalan lagi, kamu waktu itu pernah janji mau bawa aku ke pasar malam kan, ayo bangun Rel!"
Rosa membekap mulutnya agar tak mengeluarkan isakan. Tangisan Agnesh membuat hatinya semakin pilu. Rosa mendekat. "Agnesh, sudah ya sayang. Kita harus bisa ikhlasin Aurel, biar dia juga tenang disana."
Pelukan kembali Rosa berikan, membuat tangisan dari Agnesh lagi dan lagi menguar. Tiba-tiba dari arah pintu datang seorang ustadz yang akan menyalatkan jenazah Aurel. "Ibu, bagaimana jika langsung kita salatkan saja?"
Rosa hanya memberikan respon anggukan, mulutnya kelu tak sanggup lagi untuk berbicara. Empat orang langsung mendekati jenazah Aurel dan menggendongnya dengan hati-hati. Setelahnya mereka meletakkannya dikeranda. Lalu, empat orang itu mulai berdiri disisi keranda bersiap untuk mengangkat jenazah Aurel menuju musholla yang terletak di depan kediaman keluarga duka.
"JANGAN, JANGAN BAWA AUREL!!" Teriak Agnesh histeris.
Rosa semakin mengeratkan pelukan pada tubuh Agnesh. Jika tidak, dia yakin Agnesh akan menghentikan para pelayat yang akan melakukan proses salat dan pemakaman Aurel. "Sudah sayang sudah, Aurel pasti sedih disana ngeliat kamu kaya gini Agnesh."
Tangan Agnesh memukul-mukul dadanya. Tuhan? Kenapa rasanya semenyesakkan ini? Jika boleh memilih, Agnesh lebih memilih dikasari Ayahnya tanpa ampun dari pada melihat sandaran ternyamannya pergi dan tak akan kembali lagi.