Fenomena dolarisasi disebabkan oleh neraca pembayaran AS yang membuat dolar AS relatif tidak stabil dan rentan terhadap masalah global. Negeri Paman Sam itu sedang dilanda krisis perbankan dan menghadapi kemungkinan gagal bayar yang bisa terjadi pada 1 Juni 2023 (CNBC Indonesia, 2023).
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah mengurangi ketergantungannya terhadap dolar sejak tahun 2018 (CBNC Indonesia, 2023). Tujuan jangka panjang Indonesia lepas dari dolar adalah untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap dolar dan memperkuat penggunaan rupiah dalam perdagangan internasional di dalam negeri dan bilateral. Nilai tukar rupiah yang stabil mendorong lebih banyak investasi dan perdagangan internasional, yang pada akhirnya mendukung stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah.
Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa Indonesia sudah menerapkan dolarisasi melalui kebijakan Local Currency Transaction atau LCT.
“Indonesia telah mengurangi penggunaan dolar AS atau biasa disebut dengan penghapusan dolar melalui LCT,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers, Selasa (18/4).
“LCT artinya menggunakan mata uang lokal untuk perdagangan dan investasi. Kami bahkan ingin membangun link pembayaran ASEAN,” imbuhnya.
Indonesia sendiri telah menjalin kerjasama dengan empat negara ASEAN, yaitu. Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina, dalam implementasi LCT.
Menurut Chatib Basri, Menteri Keuangan di pemerintahan SBY, dia mengakui banyak pihak yang mempertanyakan menganai isu dedolarisasi di sejumlah negara. Menurutnya, peran dolar AS akan digantikan peran renminbi atau yuan China.
"Apakah akan ada dedolarisasi? Saya kira peran renminbi akan meningkat secara bertahap, tetapi akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menggantikan dolar AS," kata Chatib dalam unggahan Instagram pribadinya, Minggu (21/5), seperti dikutip . oleh @chatibbasri.
Selain itu, Chatib mengatakan ada tiga alasan mengapa dolar membutuhkan waktu lama untuk bersantai antara yuan dan USD.
- Pertama, basis Renminbi saat ini masih sangat kecil. Sedangkan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications (SWIFT) masih didominasi dolar AS dan euro dengan pangsa 40 persen. Di sisi lain, pangsa aset global China hanya mencapai 4 persen.
- “Akibat basis kecil ini, ketika negara ingin beralih dari dolar AS ke renminbi, biaya transaksi meningkat,” jelas Chatib.
- Faktor lain, jika renminbi digunakan di semua negara di dunia, China harus menerapkan liberalisasi neraca modal. "Tanpa itu, Renminbi tidak sepenuhnya dapat dikonversi," tambahnya.
- Ketiga, Chatib melihat apa yang sering dibicarakan sebagai apa yang disebut dilema sepele. "Kalau mau mata uang China beredar di negara lain, neraca berjalan China harus defisit, apakah China mau melakukan itu?" imbuhannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H