Mohon tunggu...
Indana Mala
Indana Mala Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Airlangga

Saya adalah pribadi yang mandiri, pekerja keras, ulet, dan komunikatif. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Saya senang bekerja di dalam tim dan menyukai hal yang bersifat menambah pengetahuan. Saya yakin bisa bekerja dalam tekanan dan selalu mencari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rasa Kemanusiaan atau Keamanan Negara? Kasus Rohingya di Indonesia

28 Maret 2023   14:35 Diperbarui: 28 Maret 2023   14:44 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masalah terkait imigran dan refugees telah menjadi isu kemanusiaan global. Tuntutan mengenai mekanisme penanganan yang berdasarkan nilai-nilai HAM semakin kuat disuarakan oleh masyarakat internasional. Di kawasan Asia Tenggara, jumlah pencari suaka etnis Rohingya meningkat dan mulai menuntut pemukiman di negara non-imigran seperti Indonesia. Meskipun Indonesia tidak memiliki kewajiban internasional dalam menangani imigran, namun secara konstitusional Indonesia memiliki kewajiban untuk menjamin hak setiap orang untuk memperoleh suaka yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 

Jumlah imigran yang tiba di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Sebagian besar imigran dan refugees ini awalnya bermaksud mencari suaka di Australia, sehingga dalam hal ini Indonesia dianggap sebagai negara transit. Namun, belum lama ini banyak imigran dan refugees dari Asia Tenggara yang datang ke Indonesia untuk meminta suaka di Indonesia, seperti etnis Rohingya dan pencari suaka lainnya dari Myanmar dan Bangladesh. 

Di satu sisi, hal ini sejalan dengan kebijakan hukum keimigrasian Indonesia. Sebagai negara non-imigran, wilayah Indonesia tidak dimaksudkan sebagai negara tujuan imigran untuk menetap secara permanen, apalagi bagi para pencari suaka. Di sisi lain, terdapat perubahan kedua UUD 1945 yaitu yang menjamin hak setiap orang atas suaka politik. Untuk kasus pencari suaka Rohingya, situasinya menjadi sangat pelik karena ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara lambat bereaksi, dan tidak memiliki mekanisme regional untuk menangani pencari suaka di negara anggota ASEAN. 

Sementara itu, banyak negara ASEAN yang sudah dikenal sebagai negara yang memiliki masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius yang disebabkan oleh pergerakan lintas batas individu di seluruh kawasan, termasuk pengungsi, dan pencari suaka yang bergerak mencari perlindungan dari persekusi. Prinsip dasar negara Indonesia sebagai negara non-imigran telah lama dianut oleh UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan dan UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Kedua undang-undang tersebut telah diubah pada tahun 2006 (UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan) dan pada tahun 2011 (UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian). 

Dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewarganegaraan, prinsip negara bukan pendatang tercermin dalam memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, dengan beberapa pengecualian bagi anak-anak orang asing untuk menghindari keadaan tanpa kewarganegaraan, dan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak-anak dari perkawinan campuran. Meskipun dimungkinkan untuk memperoleh kewarganegaraan melalui naturalisasi setelah orang asing tinggal di Indonesia selama 5-10 tahun, keputusan akhir tergantung pada kebijaksanaan presiden dan menteri hukum dan hak asasi manusia. Ini didasarkan pada "prinsip kebenaran substantif".

Secara umum, jumlah pencari suaka dan pengungsi di Indonesia tidak sebanyak di beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Bangladesh. Demikian pula, jumlah pencari suaka Rohingya di Indonesia relatif kecil jika dibandingkan misalnya dengan keberadaan pencari suaka di Thailand dan Malaysia. Namun demikian, keberadaan pencari suaka Rohingya di Indonesia memiliki beberapa implikasi yang signifikan. Pertama, Indonesia sendiri hampir tidak pernah menerima gelombang pencari suaka secara konsisten sejak kehadiran Boat People dari Indochina akibat Perang Vietnam sejak akhir 1980-an. 

Indonesia kembali mengalami gelombang baru pencari suaka di tahun 2000-an akibat konflik di Timur Tengah dan kondisi ini berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya dengan jumlah pengungsi yang terus meningkat secara eksplosif. Pencari suaka dari Rohingya termasuk gelombang baru pencari suaka yang masuk dari tahun 2009 hingga 2015 dengan jumlah yang cukup besar terkonsentrasi di satu wilayah tertentu yaitu Aceh. Kedua, dalam kasus Rohingya, khususnya di Aceh, baru kali ini terdapat penanganan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia dengan melibatkan aktor yang cukup beragam. Penanganan tersebut tidak hanya melibatkan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil. 

Meski tidak memberatkan mereka, pemerintah daerah memiliki peran besar dalam penanganan penampungan pencari suaka. Pada saat yang sama, peran organisasi masyarakat sipil muncul kembali dengan datangnya gelombang pencari suaka, karena penanganan pencari suaka Rohingnya membutuhkan lebih banyak organisasi masyarakat sipil untuk terlibat. Disisi lain, pemerintah telah terlibat dalam perdebatan dengan komisi dan kelompok masyarakat sipil lainnya tentang masalah pilihan antara pendekatan imigrasi dan HAM. Setiap pihak berjuang untuk salah satu pendekatan, sementara tidak satupun dari mereka mengambil pendekatan yang komprehensif. 

Di satu sisi, dominasi pendekatan keimigrasian dalam menangani pencari suaka harus masuk dalam kerangka hak asasi manusia, dimana perlindungan pencari suaka merupakan kewajiban pemerintah bukan sekedar bantuan kemanusiaan sukarela. Di sisi lain, pendekatan hak asasi manusia perlu memiliki tujuan yang berimbang untuk mengantisipasi dampak negatif migrasi internasional, seperti penanganan perdagangan manusia dan penyelundupan manusia karena praktik penyelundupan pencari suaka atau migran ilegal terus terjadi. Namun, konflik antara Pemerintah dan komisi sebenarnya bisa dimaklumi karena komisi tidak terlibat langsung dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi. Salah satu masalah yang dihadapi para pencari suaka di tempat penampungan adalah mereka tidak memiliki izin untuk bekerja.

Kondisi demikian memaksa sebagian dari mereka meninggalkan tempat penampungan ke Malaysia, karena di Malaysia mereka mampu bekerja, meskipun hanya disebut sebagai buruh. Seperti disebutkan sebelumnya, Malaysia memiliki banyak etnis Rohingya yang tinggal dan bekerja di sektor informal. Untuk menjembatani persoalan kejenuhan pencari suaka Rohingya di shelter, pihak pengelola shelter telah menyiapkan skema community development bagi pencari suaka, misalnya yang dilakukan oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT), seperti penyiapan lahan dan sarana pembibitan sapi serta pelatihan pertanian, meskipun dengan keterbatasan lahan. 

Selain masalah kurangnya pekerjaan atau kejenuhan, ada masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat Rohingya, yaitu bahasa dan komunikasi yang sering menimbulkan kesalahpahaman dengan warga sekitar. Persoalan semacam itu diantara mereka seringkali tidak dipahami oleh pengelola shelter yang bersangkutan. Penerjemah hanya dilibatkan oleh United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM) untuk menyelesaikan tujuan mereka. Mereka tidak selalu tersedia di tempat penampungan. Kebutuhan akan juru bahasa yang tersedia di tempat penampungan telah diusulkan, namun hingga saat ini belum terpenuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun