Mohon tunggu...
Indana Zulfa
Indana Zulfa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Tafsir Hadits di UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Siapakah Allah itu?

8 November 2012   05:48 Diperbarui: 4 April 2017   17:51 8902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada seorang anak bertanya, “Siapakah Allah itu?” “Apakah benar Allah itu ada?”

apa yang dapat kita jawab atas pertanyaan anak tersebut?

Dalam al-Qur’an surat al-Ikhlas ayat 1-4 disebutkan bahwasanya Allah itu maha Esa, Dia-lah Tuhan begantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tidak beranak da n tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.

Jika kita berikan jawaban tersebut kepada seorang anak kecil, apakah ia paham dengan penjelasan kita? Memang, itulah jawaban yg sebenarnya tentang Allah, namun jawaban itu masih global. Tentu saja, karena jawaban itu ditujukan kepada orang kafir yang mendatangi Rasulullah seraya berkata, “ Hai Muhammad, jelaskan sifat Tuhanmu kepada kami, apakah Dia dari emas atau perak atau zabarjad atau yakut? Maka, Allah turunkan ayat tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan orang tersebut.

Dari jawaban tersebut di atas juga mungkin kita kurang puas, sehingga timbul lagi pertanyaan, “Kapan penamaan Allah itu ada?”

Nama “Allah” itu ada tentu saja ketika adanya orang Arab, karena kosa kata Allah itu berasal dari bahasa Arab, Itu menurut orang Islam. Di Indonesia, misalnya, orang Yahudi mengadopsi kata “Allah” menjadi “Alah” (baca: dengan satu huruf L) atau “Eloh”. Dalam bahasa Indonesia, kata Allah diartikan sebagai “Tuhan”, sedangkan dalam bahasa Inggris, menjadi “God”

Allah adalah nama Tuhan yang paling agung. Para Ulama’ berbeda pendapat mengenai lafal mulia ini, lantas, apakah ia termasuk dalam asmaul husna?

Asmaul Husna itu berarti nama atau sifat Allah, maka tentu saja kata Allah bukan termasuk di dalamnya, karena begitu agungnya kata “Allah”, bahkan yang teragung, maka tidaklah wajar jika ia tidak termasuk Asma’ al-Husna.

Pertanyaan selanjutnya timbul dari nama-nama Allah yang terdapat dalam Asma’ al-Husna, Apakah Allah itu terbatas dengan sifat-sifatnya yang 99 itu?
jawabannya singkat saja, Allah itu tidak terbatas, sebutlah nama Allah dengan nama apapun, tapi yang dalam Asma’ al-Husna itulah yang terbaik, mengenai jumlah, kenapa 99? Itu cukup mewakili bahwasanya nama Allah itu tidak terbatas, karena setelah 9, itu paling banyak, bukan 10, karena 10 itu terdiri dari 1 dan 0.

Jika kita lihat adanya alam semesta ini, tidak jauh-jauh, kita ada saja sudah membuktikan bahwasanya Allah itu benar-benar ada, melalui makhluk-Nya lah kita mengetahui adanya Allah, karena tidak mungkin adanya yang dicipta, jika yang menciptakan sendiri tidak ada. Seperti yang dikataka oleh filosof Yunani-khusunya Aristotels-maupun oleh para filosof muslim seperti Al-Kindi bahwasanya Allah dipandang sebagai “Al-Illat al-Ulaa” yaitu sebab yang pertama. Persepsi tersebut beranjak dari keyakinan bahwa suatu kejadian tidak bisa terjadi karena dirinya sendiri, tetapi terjadi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itulah di sebut sebab. Dan Allah adalah sebab yang pertama. Sebagai contoh kursi ada karena ada yang menciptakan, yaitu Manusia, dan manusia diciptakan oleh Tuhan. Nah, dilihat dari kursi saja kita bisa mengetahui bahwa Tuhan itu ada. Pertanyaanya, bagaimanakah wujud Allah itu?

Wujud Allah memang unik. Lain dari pada yang lain, ia bukan benda-benda inderawi yang tampak pada mata kita. Ia adalah dasar bagi wujud mereka. Lalu wujud yang bagaimanakah ia?

Wujud Allah akan mewujud dengan sendirinya, mengapa? Tidak mudah untuk menjelaskannya. Tapi cobalah renungkan ini! Ketika kita mengatakan meja ada, kuri ada, pulpen ada, buku ada, langit ada, planet ada, bahkan alam semesta ini ada, semua itu bisa kita katakan ada, tentu saja ketika kita meyakini bahwa “ada itu sendiri” ada. Karena mustahil kita bisa mengatakan semua itu, kalau “ada itu sendiri” kita tolak, jadi, sebelum kita percaya bahwa sesuatu itu ada, maka kita harus bahwa “ada sendiri “ itu ada atau “ada pada dirinya” ada terlebih dahulu sebagai syarat bagi ada-ada yang lainnya. Dan ada yang seperti itu tidak perlu pembuktian, inilah yang dimaksud dengan wujud murni, atau Tuhan, oleh Mulla Shadra

Memang, membicarakan Tuhan itu tidak akan ada habisnya, dan memang tidak perlu kita cari sampai pada akar-akarnya, karena akal kita terbatas, yang wajib kita lakukan hanya beriman kepada-Nya, beriman itu juga tidak cukup diucapkan dari bibir, namun harus diyakini dalam hati dan diaplikasikan ke dalam perbuatan, seperti disebutkan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 136 yang artinya:

136. Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.

semoga tulisan ini bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun