Mohon tunggu...
Indah Septika Buulolo
Indah Septika Buulolo Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia

Seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rivalitas AS-China: Indikasi Perang Dingin?

5 November 2020   22:00 Diperbarui: 5 November 2020   23:17 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia internasional hingga saat ini selalu diwarnai dengan konflik, baik dari segi politik, ekonomi, dan keamanan di setiap negara, tidak terkecuali dengan negara super power, Amerika Serikat

Setelah menjabat menjadi presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menuai banyak pro kontra dengan segala kebijakan dan aturan administrasi yang diberlakukannya. Hal ini membawa pengaruh terhadap hubungan AS dengan negara mitranya; yang paling terlihat saat ini adalah hubungannya dengan negara rising power di kawasan Asia, China

Di beberapa tahun terakhir ini, telah banyak terjadi konflik yang tidak terselesaikan antara AS dan China, antara Trump dan Xi Jinping. Mulai dari masalah perdagangan, persenjataan, hingga masalah kedaulatan wilayah menjadi sumber konflik kedua negara adidaya di kawasan Asia Pasifik ini.

Amerika Serikat sejak dulu memang selalu mendominasi dunia internasional dengan segala kekuatan militer dan ekonomi yang dimilikinya. Namun berakhirnya Perang Dingin yang membuat kontestasi politik dan keamanan usai, tidak bisa menjadikan AS sebagai negara adidaya yang dapat mengatur dunia (kekuasaan unipolar). Seiring dengan globalisasi, semakin banyak negara yang terbilang maju dengan kekuatan ekonomi dan militernya saat ini, salah satunya adalah negara tirai bambu, China. 

Munculnya China dengan kekuatannya saat ini mengancam Amerika Serikat sebagai negara yang selalu berperan aktif dalam dunia internasional, terlebih dalam kawasan Asia Pasifik. Pengaruh China tidak dapat terelakkan lagi dengan ambisi besar yang didukung dengan kekuatan ekonomi, menjadikan China sebagai pusat gravitasi baru di kawasan Asia Pasifik.

Hal ini membuat AS menjadi geram karena sulit untuk melakukan upaya strategi rebalancing dengan China. Hal tersebut terlihat dari kompleksnya permasalahan China dengan Taiwan, nuklir Korea Utara, permasalahan teritorial maritim laut China Selatan, yang mana aspek-aspek tersebut berimplikasi pada kehadiran militer AS di kawasan Asia Pasifik (Al Syahrin 2015, 24-26).

Sejak 2016 lalu, kegentingan hubungan antara Amerika Serikat dan China telah tampak dengan adanya perang dagang diantara kedua negara ini. Dilansir dari CNBC Indonesia, pada tahun 2016, Trump menuduh China mengekploitasi hubungan perdagangan kedua negara, akhirnya Trump menetapkan serangkaian tarif hukuman untuk barang-barang China, dan China pun membalas hal itu. Konflik perdagangan antara kedua negara ini menjadi berkepanjangan dan memengaruhi hubungan AS dan China secara keseluruhan setelahnya. 

Lalu pada tahun 2018, adanya pertarungan tekonologi antara kedua negara besar ini dengan indikasi dari AS bahwa China mencuri teknologi AS, hingga Chief technology officer Huawei, Meng Wanzhou telah ditahan di Kanada sejak Desember 2018 dengan surat perintah ekstradisi ke AS atas tuduhan penipuan. Pertikaian kedua negara terus berlanjut dari masalah pengusiran jurnalis dan pekerja media, pengusiran siswa asing asal China di AS, hingga masalah keterlibatan AS dalam masalah internal China di Hongkong, penindasan Muslim di Xinjiang, serta masalah di Taiwan dan Tibet.

Konflik yang tidak kunjung usai antara kedua negara ini menjadi perhatian penting khususnya bagi kawasan Asia Pasifik. Mengapa tidak, karena kedua negara ini memegang peran penting dalam geopolitik kawasan Asia Pasifik. Rivalitas antar kedua negara ini dapat membawa dampak positif maupun negatif bagi stabilitas kawasan Asia Pasifik. 

Dengan berbagai isu di kawasan yang melibatkan kedua negara adidaya ini, sangat memberi alternatif bagi interaksi keamanan regional. Ketika konflik terus berlanjut dan menimbulkan ketegangan, saat itulah “perang dingin” antara kedua negara ini akan berdampak buruk bagi kedua negara dan stabilitas keamanan kawasan. 

Kedua negara adidaya ini menjadi tonggak penting untuk perkembangan kawasan dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Yang perlu dilakukan oleh kedua negara adalah meredam ambisius yang tinggi dan terus menjalin kerja sama yang baik, dan membangun cara untuk melawan pemaksaan kepentingan dari masing-masih pihak serta memainkan peran yang lebih besar dalam mendukung sistem keamanan global. Disinilah rivalitas sebagai kompromi keamanan menemukan arti pentingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun