Artikel ini saya dedikasikan untuk sahabat saya, Henry Kristian, yang berpulang saat usianya jelang 50 tahun.
Hai, Hen. Saat artikel ini kutulis, kamu sudah ada di dalam tanah. Menyatu bersama zat yang membentuk kita dulu, saat manusia pertama diciptakan. Tanah.
Pertemuan kita diawali saat remaja, ketika kita sama-sama masuk di kelas 2 Bio 1, SMA Negeri 4 Malang. Tentu aku sudah lupa detailnya, karena usiaku pun sekarang hampir 50 dan lupa adalah nama tengahku.
Entah bagaimana kita bisa akrab, tapi kamu dan teman-teman segang-mu memang adalah anak-anak yang paling supel waktu itu. Kalian masuk di setiap lapisan. Akrab dengan semua teman. Henry, Zainuri, Sugeng, dan Afif. Bahkan sampai kita berpisah, lalu memilih jalan masing-masing. Kamu sepertinya langsung bekerja, atau kuliah ya -- aku lupa. Zainuri kuliah -- aku lupa di mana. Afif dan Sugeng melanjutkan di Akademi Gizi. Sedangkan aku kuliah di Univ. Brawijaya.
Sesekali, kamu meneleponku menanyakan kabar.
Hingga kemudian tanpa ada angin dan hujan, kamu datang ke rumah. Waktunya kayaknya aku sudah dua tahun kuliah. Kamu nggak sendiri tapi bersama seorang gadis yang manis, kau kenalkan sebagai pacar. Wih, ngapain kamu bawa-bawa pacar ke rumahku, mau pamer, ya? Hahahaha.
Lalu tak lama aku mendengar kamu sudah menikah dengan pujaan hatimu. Aku lupa apa kamu mengundangku apa tidak -- kayaknya nggak, ya?
Kemudian kita nggak kontak-kontakan lagi. Akupun setelah kuliah langsung diterima kerja di Makassar dan kemudian menikah, dan sepertinya sampai akhir hayatku bakal di sini.
Tahun 2016 kalau nggak salah, kelas kita mengadakan reuni. Waktunya nggak cocok dengan schedule-ku. Tapi saat rapat persiapan, aku datang. Dan di situ kita ketemu lagi. Di kafe di samping eks sekolah kita. Ngobrol-ngobrol seru dengan beberapa teman lama dan kamu juga mengantarku pulang.
Kamu bercerita tentang pekerjaanmu membuat bus. Iya membuat rangka bus, pekerjaan yang jauh dari bayanganku. Maksudku, aku nggak tahu bagaimana caranya, seperti apa, seberapa berat. Tapi kaubilang, hanya itu yang kaubisa. Tentu kamu hanya merendah, karena sebetulnya talentamu banyak. Kamu bisa mengukir dengan baik dan melukis dengan indah. Tapi kamu butuh pekerjaan yang cepat mendapatkan uang, gaji perbulan yang rutin, untuk menghidupi keluargamu. Kalau hanya mengandalkan seni tentu tak bisa dijadikan pegangan.
Lalu lama kita nggak kontak-kontakan lagi. Kadang hanya berbalas canda di WAG kelas kita.
Tahun 2024 lalu, awal tahun, aku ke Malang. Vivit teman kita ngajak ketemuan dan mengabarkan kedatanganku di WAG. Ngajak ketemuan siapa saja yang bisa, di warung bakso Cak Man. Ada 10 orang yang datang, termasuk kamu dan istrimu. Kita semua makan, ngobrol, bercanda. Hingga saat semua mau pamitan, kamu minta waktu untuk bicara.
Kamu bilang dokter menemukan tumor mengarah ke kanker di dalam tubuhmu. Sebenarnya kamu sudah harus dikemo, tapi memutuskan untuk berobat alternatif. Kamu minta maaf kalau ada kesalahan yang pernah kamu lakukan, dan minta didoakan untuk kesembuhanmu.
Tanggal 11 Januari 2025, setahun kemudian, jelang usiamu yang setengah abad, Vivit mengabarkan berita duka di grup kelas kita. Kamu sudah pergi mendahului kami. Secara tersirat, Vivit juga mengabarkan bahwa sebelumnya, kamu sudah menempuh jalan medis untuk mengobati sakitmu.
Selamat jalan, Hen. Kepergianmu menyadarkan kami, bahwa kematian itu sangat dekat. Cepat atau lambat, kami akan menyusulmu. Kepergianmu menyadarkan kami, bahwa kami harus serius mempersiapkan bekal. Karena esok atau lusa, baik dalam kondisi sehat maupun sakit, jika sudah waktunya, ajal akan datang menjemput.
Innalillahi wa innailaihi rajiuun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H