Sungguh, sebelum menulis artikel ini saya mencari-cari sebutan untuk satu ikat petai seperti pada gambar. Yang saya temukan hanya arti kata petai di KBBI, yaitu: pohon tinggi rindang, buahnya berbentuk bilah pedang yang panjangnya 30 cm, tiap bilah berisikan 10---18 biji yang tersusun pada sepanjang bilah itu, berbau kurang sedap, dimakan sebagai sayur atau lalap.
Ada istilah 'bilah' untuk menyebutkan satu papan petai, tapi untuk petai yang banyak saya tidak menemukan istilahnya, jadi saya pakai bahasa Jawa: sak ombyok -- yang saya Indonesiakan dengan se-ombyok. Mohon ampun kalau menyalahi aturan, tolong dong info penyebutan yang benar di kolom komentar, hehe...
Jadi begini ceritanya tentang seombyok petai itu...
Suami saya dinas keluar kota tepatnya ke Jogja hingga hari Jumat -- kira-kira tiga mingguan lalu. Sebelumnya saya yang ngiri karena dia ke Jogja, spill-spill ... "Kalau aku yang ke Jogja, aku mau singgah ke Malang sebelum balik Makassar," (Orang tua saya tinggal di Malang).
Ternyata suami terinspirasi -- soalnya mungkin sudah setahunan lebih dia nggak ketemu mertua. "Apa aku ke Malang saja, ya?" ucapnya.
"Kalau nggak mepet waktunya, ke Malang mi. Tapi kalau kamu capai, nggak usah," ucap saya.
Ternyata suami saya beneran ke Malang Sabtu pagi memakai moda transportasi kereta api si Maleks alias Malioboro Ekspress jurusan Jogja-Malang. Berangkat Sabtu pagi, ia tiba di Malang sekitar jam 17.00 sore ... setelah beberapa kali direject gocar/grab (kasihan ... rupanya jalur ke arah rumah saya di Malang macet, jadi driver kendaraan online ogah terima orderan), dan harus naik angkot dari stasiun Kota Baru, suami sampai di rumah sekitar maghrib.
Alhamdulillah, paling tidak rindu saya pada orang tua terlampiaskan melalui kedatangan suami ke rumah di Malang.
Memang sangat singkat waktu yang dihabiskan suami di rumah masa kecil saya itu. Hari Minggunya sudah balik ke Makassar karena Senin harus kerja. Sekitar pukul 11.00 hari Minggu dia sudah dijemput travel yang mengantarnya ke Bandara Juanda di Sidoarjo.
Memang singkat, tapi saya yakin itu sangat bermakna baik bagi suami, papa mama saya, keluarga di Malang dan bagi saya sendiri. Saya mendapat cerita langsung dari suami tentang kondisi kedua orang tua saya. Maklum mereka berdua sudah sepuh dengan segala macam penyakit yang lumrah diderita kaum lansia. Suami bercerita bagaimana papa dan mama saya menahan tangis ketika menitipkan angpau dan kue-kue untuk cucu-cucunya di Makassar.
Duh, para perantau pasti tahu rasanya jauh dari orang tua dan tidak bisa seenaknya pulang kapanpun karena harus berhitung biaya. Mungkin jika sekaya sultan Andara tak ada masalah dengan hal itu. Tiap week end bisa meluncur mudik. Tapi pasangan PNS dengan tiga anak yang masih sekolah, tentu harus bijak mengelola budget. Bisa pulang dua kali setahun sudah bagus bagi saya.
Sambil masih bercerita tentang papa dan mama saya, suami mengeluarkan oleh-oleh dari dalam tas. Ada satu kardus berisi jajanan khas Jogja dan khas Malang. Bakpia ori, bakpia kukus, pai susu, gudeg kaleng, Lapis Malang, kripik tempe, dan aneka jajanan lain.
Ketika saya pikir semua oleh-oleh sudah dikeluarkan, suami mengeluarkan sesuatu berwarna hijau dari kopernya. MasyaAllah, seombyok petai yang barusan ikut naik pesawat Surabaya-Makassar, keluar dari kopernya. Saya tertawa sambil memegangi perut, saking merasa lucunya.
Pertama saya salut dan tidak mengira suami saya pasrah membawa petai dalam kondisi masih ori seperti itu. Katanya nggak ada waktu mengupas, kakak saya (Mbak Tutut) baru pulang dari belanja di pasar dan langsung menyerahkan petai tersebut untuk dibawa ke Makassar.Â
Mungkin pembaca merasa heran emangnya nggak ada petai di Makassar? Ada dong. Hanya saja memang harganya beda jauh. Muahal kalau di Makassar dan susah menemukan petai yang ayu-ayu kayak petai dari Malang itu. Atau saya saja yang kurang hunting - entahlah.Â
Kedua, petai adalah makanan favorit Mbak Tutut dan papa saya. Saya tertawa kemudian terdiam terharu ketika menyadari dan merasakan bahwa di petai itu ada seuntai kasih yang tak terucapkan dari kakak saya, papa, mama, dan keluarga di Malang untuk saya. Untuk kami di Makassar.
Petai itu kemudian ternyata bisa memunculkan aneka memori dalam ingatan saya mulai dari saya kecil hingga dewasa. Petai itu bisa membuncahkan rasa rindu dalam hati saya pada semua kenangan dan kehangatan keluarga inti saya dulu, saat saya masih menjadi seorang anak saja -- belum jadi istri seseorang.
Hidup adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh rahasia. Lekuk likunya tak pernah kita tahu. Tak pernah saya bayangkan dulu akan hidup jauh dari orang tua seperti sekarang. Namun hidup adalah juga pilihan. Ketika seorang perempuan telah memutuskan untuk bersedia menjadi makmum seumur hidup dengan seorang lelaki yang jadi imamnya, maka telah menjadi kewajibannyalah untuk setia di sisi sang suami.
Saya mengupas papan-papan petai dengan hati-hati, menikmati setiap prosesnya menghasilkan bulatan-bulatan hijau yang menggemaskan untuk disantap. Lalu saya memasaknya menjadi salah satu komponen dalam sambel goreng dicampur tempe dan udang. Wuih, nikmatnya. Saya juga berbagi satu wadah kecil petai buat salah satu sahabat di tanah rantau.
Semoga yang ikut menikmati petai-petai montok ini, juga dapat merasakan seuntai kasih yang terkandung di dalamnya. Dan bagi yang membaca kisah ini, semoga selalu sehat bersama keluarga yang penuh kasih sayang. Aamiin. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H