Klik.
Saya mengirimkan sebuah link instagram di sebuah pesan whatsapp untuk sahabat saya yang seorang cat lover. Link instagram yang sering saya kirimkan ke sahabat saya itu biasanya berisi tingkah polah anabul alias kucing yang lucu-lucu menggemaskan, kadang mengharukan.Â
Kalau rindu ngobrol sama sahabat saya, memang kadang untuk mengawali obrolan, obrolan tentang kucing adalah pintu masuk yang paling tepat.
Sahabat saya adalah the real cat lover. Paling tidak, itu menurut saya. Saya tahu di luar sana masih banyak orang yang gila kucing bahkan lebih dari sahabat saya. Tapi orang yang di luar sana itu kan tidak saya kenal secara pribadi. Baru sahabat saya itulah satu-satu cat lover yang saya kenal secara pribadi.
Cat lover yang nggak kaleng-kaleng ya, karena sahabat saya memelihara 18 ekor kucing di dalam rumah, tidak termasuk kucing-kucing liar yang rutin ia beri makan di luar pagar.
Ke-18 kucingnya itu pun tidak tiba-tiba ia miliki. Bukan pula hasil kucingnya yang beranak-pinak, karena sahabat saya rajin mensteril kucingnya.
Kucing-kucing itu sebagian besar adalah kucing hasil rescue.Â
Dulu saat kami masih bekerja di kantor yang sama, banyak kucing liar di sekitar kantor. Mereka betah berkeliaran di sekitar kantor, karena sahabat saya selalu membawa pakan kucing dan rajin memberi mereka makan.Â
Dan selalu ada kucing yang memelas entah itu anak kucing yang masih kecil, kucing kurus dengan tubuh penuh koreng, atau kucing yang tertabrak dan berlumuran darah - asal belum mati - selalu berusaha diselamatkan oleh sahabat saya tadi.
Kucing-kucing dengan penampilan mengenaskan yang ia selamatkan, biasanya lambat laun menjadi bersih, gemuk, memesona. Tak jarang sahabat saya memamerkannya di status whatsapp.
Saya sendiri sebenarnya bukan cat lover, tetapi saya memelihara kucing. Yang lebih tepat disebut cat lover itu suami saya, karena dia yang menyebabkan kami memelihara kucing. Ada tiga kucing yang saya pelihara di dalam rumah (sebelumnya 4, tapi yang satu meninggal karena sakit), yaitu Tengteng (mama kucing) dan dua anaknya yaitu Tutu dan Wawa.
Jika sahabat saya jarang menjadikan kucing sebagai bahan konten (paling banter dia jadikan status whatsapp), saya lebih sering menjadikan kucing-kucing saya sebagai bahan konten. Kucing-kucing saya sudah beberapa kali saya jadikan sebagai bahan artikel Kompasiana, bahan status facebook, status whatsapp dan status instagram.
Tujuan saya nggak muluk-muluk, hanya berbagi keunyuan dan kelucuan kucing-kucing saya. Sebagaimana saya senang melihat konten kucing yang lucu-lucu, saya juga ingin kucing saya ikut nampang menjadi bagian dari kelucuan tersebut. Selain itu, konten adalah kenangan yang setiap saat bisa kita lihat dan mengingatkan masa-masa yang menyenangkan.Â
Seperti Gaga, kucing kami yang sudah meninggal. Kami kadang-kadang teringat padanya dan senang memandangi foto-fotonya di beberapa hari terakhir hidupnya. Atau kenangan saat Tengteng masih kecil di awal-awal ia bergabung masuk ke dalam rumah kami. Atau saat Tengteng baru melahirkan anak-anaknya, dan saat ketiga anak kucing masih kecil dan bertingkah dengan lucunya.
Rasanya sayang, kan ... kalau kelucuan itu hanya dinikmati sendiri. Seperti dalam artikel ini saya berbagi foto kucing-kucing kami dan juga satu momen lucu saat Tengteng julid pada seekor kucing liar di depan rumah dalam sebuah postingan instagram. Tonton dan jangan lupa love-lovenya yaa... **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H