"Satu botol Minas yang sudah dibuka harus segera dihabiskan," ucap bu Ifa.
Rasanya tak bisa menghabiskan Minas dalam sekali duduk. Kami pamit dari kantor KPH menuju hotel dan sebelumnya kami makan siang dulu. Saat mencari kamar di hotel Grand Rofina, Sinjai, saya masih memegang botol Minas di tangan. Resepsionis mengingatkan:
"Maaf, Bu, Minasnya harus langsung dihabiskan karena kalau tidak, nanti dia meledak," ucap resepsionis tanpa tersenyum. Artinya dia serius sekali.
Saya segera ke kamar dan di salah satu dinding hotel menemukan peringatan agar pengunjung tidak membawa Minas ke kamar.
"Sri, kita harus habiskan Minas ini nanti kalau tidak, beneran akan meledak dan kita dimarahi pihak hotel," ucap saya mengingatkan Sri. Minas punya saya sih tinggal sedikit dan bisa saya habiskan dalam beberapa tegukan saja. Tapi Minas punya Sri masih banyak. Dia berusaha menghabiskan semuanya supaya tidak mubazir.
Pada malam terakhir kami di Sinjai, Pak Djum membawa kami makan di pelelangan ikan. Nah, di warung-warung yang berjajar itu kami lihat lagi Minas dijajakan di atas meja warung. Pak Djum langsung ngambil satu. Rupanya dia suka Minas.Â
"Bu Indah tidak mau minum Minas lagi?" Pak Djum bertanya siap mengambilkan Minas dari meja.
"Nggak, ah, Pak," sahut saya menggelengkan kepala.
"Pasti karena bapak tadi bilang Minas mengandung tuak, ya? Jadi sekarang nggak mau minum?" olok Pak Djum yang sudah saya ceritain soal komen suami saya di WA.
Saya hanya tersenyum. Bukan itu alasan sebenarnya. Saya tidak mau minum Minas lagi, karena rasa penasaran saya sudah hilang. Kan sudah tahu rasanya. Kalaupun ingin mencicipi Minas lagi, mungkin kelak dalam kunjungan berikutnya ke Sinjai.