Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jangan Takut Menjadi Seorang Ibu, Nikmati Saja Peranmu

25 Agustus 2024   21:20 Diperbarui: 31 Agustus 2024   21:18 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chat dengan Nina (Sumber: dokumentasi pribadi)

Hari ini suami mengajak nengok anak sulung di Kabupaten Gowa. Awalnya saya mau ikut, tapi anak-anak besok sekolah dan biasanya kalau ke Gowa suka lama. Maka saya bilang biar suami saya saja yang pergi, karena memang ia ada keperluan lain di Gowa selain menengok anak kami.

Pagi-pagi suami saya berangkat olah raga tennis kesukaannya, dan nanti akan berangkat ke Gowa usai duhur. Saya menggunakan kesempatan sekitar empat jam untuk memasak buat anak sulung saya. Saya membuat macaroni schootel kesukaan keluarga, mengungkep tempe dan tahu, menumis cumi yang sengaja saya beli pagi-pagi di penjual ikan.

Saat suami pulang lalu bersiap-siap salat di masjid, masakan saya sudah matang semua. Saya mengepak makanan dalam wadah-wadah plastik. Seperempat loyang macaroni, sekotak tempe tahu ungkep, sewadah kecil tumis cumi, dan saya juga memasukkan daging rebus yang sudah empuk. Seluruhnya empat wadah yang saya kemas dalam kantong serba guna.

Mengepak makanan untuk anak saya, mengingatkan saya pada mama saya. Mama adalah wanita yang luar biasa. Ia pintar memasak, menjahit, dan merias wajah. Paket komplit sebagai seorang ibu. Ia juga selalu memperhatikan saya.

Selama saya tinggal jauh darinya sejak tahun 1999 karena harus bekerja di Makassar, mama selalu memantau dari jauh. Selain melakukan sambungan telepon, hampir setiap bulan paket dari mama selalu saya terima dan itu berlanjut sampai saya punya anak.

Selain paket, setiap saya mudik ke Malang, kalau balik ke Makassar ada saja yang mama bungkuskan untuk saya bawa. Beberapa kotak keripik tempe akan ia belikan tanpa saya minta. Tak jarang beliau memasakkan masakan yang harus saya bawa, dengan kata-kata: "Nanti tinggal dipanasi di rumah. Kamu nggak perlu beli lagi setiba di Makassar."

Kadang saya kesal karena packingan sudah siap, eh mama menambahkan makanan yang entah mau dijejalkan di mana. Kadang saya tolak tapi lebih sering mengalah dan menerimanya, karena ternyata menerima apa yang mama berikan itu membahagiakan hati mama. Tidak usah bertanya dari mana saya tahu. Saya tahu perasaan itu setelah saya menjadi mama juga, menjadi seorang ibu dengan perasaan-perasaan naluriah seorang ibu.

Dulu saya pernah berpikir, apakah saya bisa menjadi seorang ibu yang sehebat mama saya? Tidak pernah lelah memasak dan memperhatikan anak-anaknya. Saya orangnya pemalas dan tidak terlalu gemar memasak, lebih sering tergoda untuk memainkan jari memesan makanan via aplikasi di ponsel. Walaupun ya saya tahu bahwa memasak sendiri itu selain jelas lebih sehat, juga memberikan kesan tersendiri pada anak-anak. They can feel mama's love inside the food!

Mengepak makanan untuk anak saya (Sumber: dokumentasi pribadi)
Mengepak makanan untuk anak saya (Sumber: dokumentasi pribadi)

Dan kini saat mengepak makanan untuk anak saya, makanan yang saya siapkan sendiri secara sadar; makanan yang saya harap bisa langsung ia santap, ketika ia lelah belajar; makanan yang saya harap dapat mewakili perasaan sayang saya  - saya tiba-tiba sadar, saya tidak perlu khawatir tidak bisa menjadi ibu yang baik seperti mama saya.

Ternyata perasaan kasih seorang ibu senaluriah itu. Bisa muncul dengan sendirinya. Sama seperti saat anakmu baru lahir dari rahimmu, lalu didekatkan di dadamu. Pasti rasa cinta dan haru otomatis muncul pada saat itu. Demikian juga di setiap fase tumbuh kembang anakmu.

Saya masih ingat betapa haru dan bangganya saya ketika pertama menyaksikan Nina mengaji di depan umum di sekolahnya, bangga ketika dapat berdiri di sisinya saat ia menjadi lulusan terbaik di SMUnya, bangga di setiap langkah kecil yang selalu ia ceritakan dalam hidupnya.

Senaluriah itu rasa kasih yang muncul dalam wujud ingin memasakkan sesuatu yang disukai anak-anak. Melihat mereka memakannya dengan lahap dan menghabiskannya dengan senyum puas di bibirnya. Sama seperti dulu saat saya mudik, mama saya selalu bertanya mau dimasakkan apa, dan beliau sigap memasak bothok, lodeh koro, mangut ikan pari, atau sup kacang merah kesukaan saya. I feel you, Mom. Miss you much (Mama saya masih sehat di Malang, tapi sekarang sudah tidak memasak lagi karena sudah sepuh).

Dan malam ini saat saya menyelesaikan artikel ini, saya sempat melakukan chat dengan Nina. Saya suruh dia memasukkan macaroni di dalam kulkas kalau belum mau dimakan. Ternyata dia menjawab,

"Ini sudah kuhabiskan."

Chat dengan Nina (Sumber: dokumentasi pribadi)
Chat dengan Nina (Sumber: dokumentasi pribadi)

Jawaban pendek tapi ternyata efeknya besar untuk hati seorang ibu yang sedang jauh dari anaknya. Alhamdulillah kalau habis, Nak.

Jadi buat siapa saja yang memiliki kekhawatiran bagaimana jika menjadi seorang ibu kelak, nggak usah takut. Nikmati saja peranmu sebagai ibu. Allah sudah kasih naluri seorang ibu dalam hati, tinggal diikuti saja naluri itu. Dia akan selalu menguatkanmu dalam mendampingi masa-masa tumbuh kembang anak dan dalam menghadapi setiap masalah. Kalau orang lain bisa, pasti kita juga bisa. Selamat buat para ibu di manapun berada. Tetap semangat, you are special and you are blessed.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun