Hidup tanpa smartphone sebenarnya bukan masalah bisa nggak bisa, tapi mau atau nggak mau. Hidup tanpa smartphone sebenarnya siapa saja bisa, wong smartphone itu bukan udara, bukan makanan, bukan minuman, yang tanpa itu semua kita akan mati. Tanpa smartphone kita nggak akan mati, paling cuma gabut setengah mati.
Smartphone pelan namun pasti telah menjadi kebutuhan primer masyarakat modern. Dulu sebelum covid, pengguna smartphone mungkin hanya para orang dewasa yang bekerja. Namun setelah covid meluluhlantakkan interaksi langsung face to face, skin to skin antara umat manusia - smartphone menjadi barang kebutuhan bahkan untuk anak-anak kemarin sore.Â
Mulai dari SD anak sudah diajari pegang hape, akibat semua pembelajaran harus secara online - saat covid. Saya dan suami yang sebenarnya sudah punya kesepakatan untuk memberi anak hape saat mereka SMP, akhirnya tak berdaya dan harus memberikan hape pada kedua anak yang masih duduk di bangku SD - waktu itu - hanya agar pembelajaran online mereka lancar.
Setelah covid usai, apakah kemudian anak-anak ini akan suka rela memberikan hape untuk disimpan orang tuanya? Tak semudah itu Ferguso ... anak-anak telah dikondisikan untuk terbiasa, bahkan mungkin sebagian addicted untuk menggunakan hape dan smartphone.
Baru sekarang saya dapat menerima kecurigaan orang-orang bahwa covid adalah semacam konspirasi. Mungkin semacam konspirasi untuk membuat orang tergantung pada hape atau smartphone. Konspirasi yang dilakukan oleh para produsen smartphone, hehehe. But, who knows?
Covid adalah titik balik. Setelah itu sebagian orang di dunia ketagihan apa-apa melalui daring - meski tak ada bahaya lagi untuk bertatapan dan bersalaman langsung. Rapat daring, belanja daring, reuni daring, bahkan takziah orang meninggal pun daring. Serba-serbi daring ini kemudian diimbangi oleh serba-serbi aplikasi. Mau daftar ini itu nggak usah langsung ke TKP ... cukup lewat aplikasi.
Berbagai aplikasi - bukankah itu semakin menarik kita pada kemelekatan terhadap smartphone?
Contohnya saya, sebagai pegawai di Kementerian LHK. Sekarang absennya tiap hari pagi dan sore dilakukan melalui web Sikadir yang hanya bisa diakses melalui smartphone. Dari sini sudah dapat diambil kesimpulan kan, bahwa saya memang tidak bisa hidup tanpa smartphone. Karena hidup tanpa smartphone berarti nggak bisa absen, nggak absen nanti tunjangan dipotong, artinya duit yang diterima perbulannya jadi berkurang.
Dengan alasan itu, sebenarnya jika saya mau, saya hanya bisa puasa smartphone di hari Sabtu dan Ahad saat saya tidak perlu absen. Apakah saya bisa? Bisa! Apakah saya mau? Nah, itu masalahnya ... mungkin saya mau jika hanya mengurangi intensitas pegang smartphone. Tapi meninggalkannya selama dua hari full? Saya nggak mau, karena siapa tahu ada berita penting yang masuk melalui smartphone saya. Dan masih banyak alasan lainnya mengapa saya tidak mau lepas smartphone.
Saya ternyata juga telah menjadi korban dari konspirasi covid - jika konspirasi itu memang ada.
Sekarang bagaimana menyikapinya? Kita tidak dapat menafikan bahwa di samping sisi negatif smartphone, sisi positifnya juga ada. Saya rasa kita harus menggunakan smartphone untuk sebaik-baiknya keperluan. Dan mulai membatasi jika memang sedang tidak ada kebutuhan yang terlalu crucial untuk membuka smartphone. Kita harus luangkan waktu untuk melakukan hal-hal bermanfaat selain yang berhubungan dengan smartphone, sehingga durasi bercengkrama dengan smartphone ini menjadi berkurang.
Mungkin salah satunya adalah menyisihkan waktu lebih banyak untuk menyapa, ngobrol, dan bercanda dengan keluarga di rumah. Karena mereka jauh lebih berharga dari sebuah benda bernama smartphone.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H