Dua hari awal bulan juni, hujan turun dalam durasi yang tak sebentar. Terasa agak lain di hatiku, yang kemarin-kemarin sudah siap dengan info masa kering panjang yang katanya bakal terjadi tahun ini.
Apakah, hujan ini semacam ucapan selamat berpisah karena merupakan hujan yang penghabisan?
Lalu aku ingat bapak SDD yang dari tangannya tercipta puisi nan indah Hujan Bulan Juni.
Sebuah jurnal yang dikutip Kompas.com menganalisis puisi tersebut menggambarkan sebuah penantian seseorang yang disertai kekuatan doa, sabar, dan ikhlas. Â
Ketulusan perasaan yang dimiliki akhirnya  berbuah manis,  dan ia mendapatkan seseorang yang dinantinya.
Sedangkan aku lebih merasa bahwa Hujan Bulan Juni ini adalah tentang cinta yang terpendam. Cinta yang tak terucapkan. Entahlah ia nanti akan bertemu, atau akan gentar, namun ia memang jenis cinta yang suci, tulus dan lembut. Â
Menurutku, cinta itu harus diucapkan. Entah nantinya akan ditolak atau diterima, tapi sudah tidak ada ganjalan dalam hati. Artinya cerita sudah selesai dan bisa menjalin cinta yang baru setelah masa-masa patah hati sudah dirampungkan tuntas tak bersisa.
Sebab endapan rasa, yang masih tersimpan di sudut hati, suatu saat akan menjadi masalah pada cinta yang berikutnya.
Demikian puisi Hujan Bulan Juni karya SDD (Sapardi Djoko Damono):
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Hujan pagi ini, 2 Juni 2024, masih berlanjut menemaniku menulis artikel.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H