Pernah saya baca teori parenting, bahwa ibu dan ayah harus meluangkan waktu untuk ngobrol dengan masing-masing anak. Misalnya hari ini saya pergi berdua dengan si sulung, hanya berdua dan ngobrol fokus tentang dirinya dan mimpi-mimpinya. Besoknya gantian jalan dengan si tengah, lalu berikutnya dengan si bungsu. Ayah juga demikian, secara bergantian meluangkan waktu khusus sehingga ada sesi curhat berdua dengan masing-masing anak.
Dulu saya merasa biasa-biasa saja dengan teori parenting tersebut. Ya kalau bisa ya dijalankan, kalau tidak ya jalan rame-rame berlima seperti yang sudah rutin kami lakukan, kan juga bisa. Begitu menurut saya.
Namun, baru-baru ini saya baru merasakan bahwa meluangkan waktu hanya berdua saja dengan anak, itu besar manfaatnya.
Ceritanya waktu itu hape si sulung rusak. Biasanya, urusan hape ya ayahnya  yang turun tangan. Tapi kebetulan ayahnya sedang keluar kota sehingga tugas itu harus saya emban.
Awalnya saya kira si sulung mau pergi sendiri ke Bintang, tempat servis hape yang paling ternama di kota kami. Ternyata dia minta ditemani. Jadilah kami berdua habis maghrib pergi ke Grandmal Maros untuk memperbaiki hape.
Toko Bintang ada di salah satu ruko di halaman Grandmal Maros. Ternyata proses servis memakan waktu satu jam, sehingga kami memutuskan untuk makan malam sambil menunggu hape selesai diperbaiki.
Saya serahkan ke si sulung mau makan apa. Ternyata dia memilih warung coto dan bakso yang ada di deretan ruko.
Nina, anak sulung saya, memilih untuk makan coto dengan isian daging-paru. Saya juga ikutan. Maksud hati mau isi campur (jeroan dan teman-temannya), tapi logika saya sudah bisa menang mengatasi perasaan, hahaha. Awas kolesterol, awas kolesterol...begitu warning di kepala.
Kebetulan saya dan nak sulung sama-sama hobi membaca. Saya pun bilang bahwa saya menargetkan membaca satu buku dalam sebulan tapi baru menamatkan dua buku padahal sudah April.
Nina ternyata sama. Dia juga berharap dapat membaca satu buku dalam sebulan.
Saya bilang bahwa saya membeli tiga buku di bulan Januari tapi baru satu dari tiga buku tersebut yang saya baca, yaitu buku fiksi (novel).
"Iya, Ma. Mengapa kalau membaca novel itu bisa cepat. Tapi kalau baca non fiksi lama sekali. Novelnya mama itu sempat Nina baca-baca, eeh tahu-tahu sudah banyak halamannya."
"Iya padahal novel tersebut banyak narasinya, ya?"
"Iya, gaya bertuturnya kayak novel lama ya, Ma?"
"Sebenarnya memang itu serial lama, tapi untuk novel yang mama baca itu adalah serial terakhir yang baru-baru saja ditulis oleh pengarangnya," saya menjelaskan tentang novel karya S.Mara.GD yang saya baca.
Nina menggeleng. Hmm, memang beda generasi. Nina setahu saya senang membaca serial buminya Tere Liye, serial horornya Risa Saraswati, novel-novelnya Ziggy, buku-buku motivasi dan pengembangan pribadi.
Kami pun ngobrol lagi tentang buku, penulis, film, dan drakor.
Setelah makan dan membeli camilan untuk kedua adiknya di rumah, kami kembali ke tempat servis hape.
Nina bilang, "sudah lama sekali kita nggak jalan berdua seperti ini ya, Ma? Terakhir waktu Nina SMP. Waktu itu kita nonton Wedding Agreement di bioskop, mama ingat, nggak?"
"Ingat, dong."
Ternyata sudah lama sekali memang. Dan 'kencan' kami saat itu menyadarkan saya bahwa Nina dan saya juga, sangat menikmati saat-saat kami jalan berdua seperti itu. Rasanya itulah arti sebenar-benarnya quality time di mana seorang anak dapat bercerita tentang apa saja pada orang tuanya, tanpa berebut waktu dan perhatian dengan saudaranya yang lain. Kebutuhannya akan perhatian yang utuh terpenuhi.
Kesadaran yang timbul dalam benak saya itu membuat saya berjanji dalam hati untuk menciptakan momen yang sama untuk adik-adik Nina. Dan juga secara rutin jalan berdua saja dengan masing-masing anak. Moga-moga rencana saya itu bisa terlaksana.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI