Kajang adalah nama salah satu kecamatan di Kabupaten Bulukumba. Pasti sobat Kompasiana dan pembaca semua sering mendengar tentang Kajang, bukan? Di sana ada Suku Kajang yang memiliki kearifan lokal menjaga hutan adat. Kakak ipar saya memang berasal dari Suku Kajang.
Mendung terlihat menggelapkan sebagian langit, maka suami saya memutuskan untuk langsung ke makam kakak, baru nanti singgah di rumahnya. Saya surprise karena ternyata kuburan kakak terletak di tempat yang terpencil jauh dari pemukiman.
Mobil diparkir di bukit kecil, lalu kami menuruni bukit, melewati ladang jagung yang sudah kering, melewati lembah dan sampai di sebuah pekuburan kuno dengan tumpukan batu-batu hitam laksana candi. Makam kakak ada di kompleks pekuburan tersebut.
Rupanya kakak ipar adalah keturunan dari kaum ningrat Suku Kajang dengan gelar Karaeng.
Setelah berdoa, kami segera kembali ke mobil karena takut hujan, dan juga karena dua anak perempuan kami tinggalkan di dalam mobil, tidak ikut turun ke makam. Amel karena loyo setelah muntah-muntah di perjalanan; dan Icha karena kesulitan berjalan (difabel).
Kami segera meluncur ke rumah Kak Mus, nama suami kakak pertama. Di rumahnya ada anak dan dua cucunya yang berkunjung karena libur lebaran. Sehari-harinya mereka tinggal di Makassar. Dulu Kak Mus hanya berdua dengan almarhum kakak di Kajang. Kak Mus harus stay di Kajang karena ia adalah anggota dewan dari partai PDIP.
Kami dijamu makan siang yang sangat mengenyangkan. Ada ikan bakar, udang masak pedas, ayam masak merah, ikan masak pallumara, sayur bening, dan sambal yang pedas. Setelah berbincang-bincang sambil makan langsat, kami mohon diri bakda asar.
Perjalanan arus balik pun dimulai. Dari Kajang ke Makassar kurang lebih 6 jam-an, tapi kami masih harus singgah salat maghrib dan makan malam.
Sepanjang jalan arus balik belum padat sama sekali, mungkin karena memang belum banyak yang balik dari mudik. Sempat saya baca perkiraan arus balik yang padat itu nanti di hari Minggu dan Senin. Meskipun jalanan lancar, kami tetap sampai di rumah setelah tengah malam.
Rasanya badan sakit semua, apalagi saya duduk di jok paling belakang dengan Amel yang selalu baring di pangkuan saya sebab dia mabuk darat. Saya capai dan paha kaku pegal-pegal. Pastinya driver kesayangan saya lebih capai lagi setelah menyetir ratusan kilometer dari Bone-Sinjai- Kajang/Bulukumba-Bantaeng-Jeneponto-Takalar-Gowa-Makassar.
Perjalanan yang melelahkan namun tidak untuk disesali. Kapan lagi bisa bertemu dengan saudara-saudara kalau tidak disempatkan di saat-saat liburan begini. Walau nyaris tidak sempat rekreasi karena jadwal silaturahmi padat, kami sempat mlipir ke sebuah pantai, menikmati senja yang indah, di Pantai Marina-Bantaeng.