Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengalaman Menjalani Operasi Tumor Payudara

19 Januari 2024   20:58 Diperbarui: 20 Januari 2024   19:31 2321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kontrol sebelum hari H (H-2)

Senin 8 Januari 2024, saya kontrol ke dokter bedah RSOJ Pertamina Royal Biringkanaya, Makassar. Ini adalah pertemuan kedua saya dengan dokter Mursallim Sewang (sebelumnya, pada 22 Desember 2023 beliau menyarankan agar saya segera menjalankan operasi benjolan di payudara). Dokter menanyakan kapan saya siap dioperasi. Saya jawab terserah dokter bisanya kapan.

"Kalau mau sore ini juga masuk kamar perawatan dan besok operasi," jawab dokter.

Ditantang seperti itu jadi was-was.

"Langsung hari ini, dok? Cepat sekali!"

Dokter tertawa kecil.

"Baiklah, kalau begitu besok, ya, masuk RS dan hari Rabu saya operasi."

Tak pakai lama, saya dan suami segera menyetujui. What next?

Dokter bilang ada berkas yang harus ditandatangani, dan kami disuruh menunggu di luar.

Petugas di meja administrasi mengarahkan saya dan suami untuk booking kamar di meja admin rawat inap dengan menyebut nama, karena nama saya sudah dimasukkan dalam sistem.

Kamipun ke meja admin rawat inap dan mendaftar. Hanya diperlukan kartu BPJS, sayangnya saya tidak membawa dompet yang berisi kartu tersebut. Mbak admin membantu dengan mencari data saya di sistem.

"Ibu mendapat fasilitas kamar kelas 1 tapi kebetulan sedang penuh. Ibu pulang dulu, besok akan kami hubungi sebelum ke RS."

Akhirnya kami kembali ke admin dokter bedah dan menandatangani berkas di sana. Salah satu poin yang saya pilih adalah: tidak bersedia dibesuk kecuali keluarga.

Poin yang lain: meminta tenaga medis perempuan.

Dua poin tersebut saya pilih karena memang ada pilihan tersebut. Mengapa tidak mau dibesuk, saya tidak tahu akan bagaimana kondisi saya usai operasi. Mungkin saya akan emosional dan marah-marah atau terbaring lemah. Dan saya tak ingin teman-teman kantor melihat saya dalam kondisi yang lemah.

Sedangkan alasan mengapa ingin tenaga medis perempuan, ya kalau memang bisa mengapa tidak? Dokternya sudah lelaki, boleh dong minta perawat perempuan? Walaupun pada akhirnya saya ditangani perawat laki-laki juga. Hahaha, RS-nya PHP, kalau memang tenaga perawat terbatas, sebaiknya tidak usah memberi pilihan aneh-aneh pada pasien. Betul, tidak?

Kami pun pulang setelah menyelesaikan syarat administrasi.

Bermalam di RS (H-1)

Hari Selasa, 9 Januari 2024. Saya menyiapkan baju di dalam tas untuk dibawa ke RS. Saya juga mengirimkan chat ke teman seruangan mengatakan bahwa saya izin persiapan ke RS.

Sepanjang hari saya membersihkan rumah sebisa saya, menyiapkan barang-barang, dan selebihnya saya berbaring sambil main hape.  Sebetulnya dalam hati saya ada rasa cemas yang bercampur dengan kepasrahan.

Sekitar pukul 10.00 saya mendapatkan telepon dari RS yang memberitahukan bahwa kelas 1 masih full. Kalau saya mau, tersedia kelas 2 dengan 4 bed di dalamnya.

Saya sempat berdiskusi dengan suami sebelum menerima kelas 2. Daripada menunggu kamar kelas 1 kosong dan menunda operasi, lebih baik cepat saja.

Hampir pukul 17.00 ketika kami berangkat ke RS karena harus menunggu suami pulang kantor. Kami mendaftar lagi di admin rawat inap dan disuruh menunggu perawat menjemput. Saya dan suami menunggu di lobi RS sampai masuk waktu isya, baru perawat datang dan mengantar kami ke lantai 2 ke kamar 203.

Tak lama saya segera diukur tensi dan diinfus di tangan kanan serta diberi gelang tangan bertuliskan nama saya di tangan kiri. Untungnya saya sudah makan sebelum berangkat ke RS karena ternyata sudah lewat jadwal makan malam jadi saya tidak dapat makan malam lagi. 

Suami pergi ke swalayan dan saya hanya nitip semangka potong karena tidak nafsu makan. Saya makan semangka pukul 21.30  dan perawat menyampaikan bahwa saya harus puasa mulai pukul 02.00 dini hari

Pukul 02.00 perawat datang lagi mengukur tensi dan mengingatkan puasa. Lalu saya tidur dan bangun dalam kondisi siap operasi. 

Dokter Mursallim datang pukul 09.00 untuk mengecek kondisi saya. Lalu saya diantar perawat dengan memakai kursi roda ke ruang operasi sekitar pukul 10.00. Suami saya terus mendampingi.

Kami masuk di ruang transit, itu hanya istilah saya untuk ruangan tempat saya menunggu sebelum operasi. Saya disuruh berbaring di sebuah bed. 

Ternyata ada 3 pasien lain yang antre untuk operasi bedah. Sesuai urutan tingkat risiko, kami bergiliran masuk ruang operasi. Saya harus menunggu sekitar dua jam di ruangan itu, karena saya mendapat giliran terakhir untuk dioperasi.

Sebelum pukul 12.00, perawat mendatangi saya dan mengatakan sudah tiba saat saya harus dioperasi. Ia bersiap mendorong bed tempat saya baring. Saya antara blank dan pasrah sehingga tidak bisa mengucapkan apa-apa ketika suami saya mencium ubun-ubun saya dan mendoakan saya.

Saya dan perawat melewati lorong yang dingin memasuki ruang operasi yang lebih dingin lagi. Saya diminta beringsut ke meja/bed operasi.

Seorang dokter anestesi menyapa saya dan siap menyuntik obat bius sementara perawat yang tadi mengantar mulai menempelkan elektroda di punggung saya, lalu mengatur posisi tangan saya. 

Kemudian perawat menutup hidung saya dengan alat bantu nafas dan meminta saya menghirup dalam-dalam udara yang keluar. Saya merasakan udara yang sejuk lalu menghirup tiga kali hirupan, dan kemudian tak ingat apa-apa lagi.

Setelah operasi

Saya tersadar saat posisi sudah di luar ruang operasi. Saya didorong di atas bed, lalu dua perawat dan suami saya memindahkan badan saya ke bed yang lain. Bersama-sama dalam hitungan ketiga dengan mengangkat semacam terpal yang menjadi alas tidur saya.

Ada selang di hidung saya untuk membantu pernapasan dan saya merasa agak kesusahan bernapas. Napas saya terasa pendek-pendek.

Saya tidak tahu saya ada di mana, tapi sepertinya kami harus menunggu sebentar. Lalu tak berapa lama kemudian, perawat mendorong bed saya kembali ke kamar perawatan. Saya masih fly. Mata saya terpejam sehingga saya tidak menyadari kondisi sekitar.

Setelah beberapa lama kembali di kamar perawatan, saya baru sadar kondisi saya dengan payudara kiri kanan diperban, dan ada selang yang menghubungkan luka di payudara kiri ke sebuah botol untuk membuang cairan bekas luka.

Suami saya bercerita ternyata tumor/benjolan itu adalah kista yang berisi cairan. Selang itu akan terpasang sampai dokter yakin tidak ada sisa cairan dalam luka di payudara dan akan dilepas saat saya sudah boleh pulang.

Tidak enak sekali posisi saya dengan tangan kanan diinfus, kedua payudara diperban, dan selang menggantung di sisi kiri. Saya takut bergerak apalagi perawat meminta saya tidak banyak bergerak dan saya juga tidak boleh minum terlalu banyak dulu. Padahal saya sudah lapar.

Infus di tangan kanan (Sumber: koleksi pribadi Indah)
Infus di tangan kanan (Sumber: koleksi pribadi Indah)

Suami saya menyendokkan air  tiga-tiga sendok hanya agar bibir dan kerongkongan saya tidak kering.

Saya baru makan ketika petugas membawa makanan datang. Saya makan bubur dan disuapi suami sedikit-sedikit.

Perawat melarang saya duduk apalagi berdiri ke kamar mandi, saya juga masih takut apalagi ada selang itu tadi. Jadi suami saya membelikan pampers dewasa dan ia dengan setia mengurus urusan 'pembuangan' ini sampai selang dilepas tiga hari kemudian.

Saya bilang ke suami, "Pa, saya tidak berharap ini terjadi. Tapi kalau suatu waktu giliran papa berbaring seperti ini, jangan malu sama mama ya. Biar mama yang gantian urus papa."

Eh suamiku diam saja, apa nggak dengar?

"Paaa!"

"Iya, iya ... " sahutnya.

Saat saya sakit itu, baik pra operasi hingga pasca operasi, saya semakin bertambah cinta pada pasangan saya, alhamdulillah.

Dua hari berikutnya dokter selalu visite dan kemudian hari Jumat beliau bilang saya boleh pulang Sabtu Siang. Sejak visite di H+1 dokter sudah menyarankan saya untuk duduk dan juga ke kamar mandi. 

Jadi saya mulai belajar, walaupun pertama duduk kepala saya terasa sakit. Tapi kemudian kondisi saya berangsur-angsur lebih baik. Alhamdulillah.

Kotak makanan di rumah sakit (Sumber: koleksi pribadi Indah)
Kotak makanan di rumah sakit (Sumber: koleksi pribadi Indah)

Begitulah kisah operasi saya. Tidak sakit karena dibius total. Setelah operasi, rasa yang dominan bukan nyeri tapi sangat tidak nyaman karena gerak terbatas. 

Nyeri-nyeri sedikit wajar karena namanya bagian tubuh kita dilukai. Obat antibiotik dan antinyeri diberikan untuk mengurangi keluhan pasca operasi.

Saya masuk RS hari Selasa malam, dioperasi Rabu siang, dan lalu keluar RS hari Sabtu siang.  Alhamdulillah, tinggal pemulihan dan rawat jalan sebelum jahitan dilepas.

Seperti pernah saya sampaikan di artikel saya beberapa hari lalu, hidup ini memang penuh kejutan. Masuk ke kamar operasi tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, bahkan melahirkan empat kali saya juga selalu normal. Tiba-tiba sekarang harus operasi karena sebab yang juga tak pernah saya bayangkan.

Mungkin saya memang butuh jeda untuk merenungkan hidup. Dan benjolan di payudara adalah cara Tuhan untuk mengingatkan saya dengan lembut. Seperti nasihat suami saya saat saya curhat padanya.  Katanya, "Semoga penyakit ini menjadi pengurang dosa-dosa." Aamiin.

Semoga kisah ini menginspirasi. Terima kasih sudah membaca sampai selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun