Beberapa waktu lalu saya pergi ngemal dengan suami dan anak-anak di sebuah mal besar di Kota Malang. Seperti biasa kalau ngemal, ujung-ujungnya pasti singgah isi perut. Waktu itu setelah keliling-keliling mengitari area kuliner di mal, kami memutuskan untuk makan di food courtnya saja dengan pertimbangan ada lebih banyak pilihan menu.
Anak-anak langsung antre di depan stand Fat Panda karena ingin makan steak. Saya masih lihat kiri kanan, sementara suami pergi sendiri ke arah yang berbeda. Sepanjang mata memandang, yang terlihat adalah franchise-franchise asing dengan menu kuliner China, Jepang, dan Korea.
Lalu mata saya tertuju pada sebuah stand yang tidak seramai Fat Panda. Nama yang tertera di dinding adalah Warung Simbok, yang berjualan hidangan tradisional Indonesia. Langsung saya mendekat dan memilih menu. Banyak sekali menunya, namun tidak semuanya adalah menu tradisional. Ada juga olahan mie dan hidangan lainnya.
Akhirnya saya memutuskan untuk membeli Kupang Lontong. Pembaca tahu, kan, Kupang Lontong? Kupang Lontong adalah hidangan khas dari Jawa Timur berupa makanan berkuah dengan bahan utama berupa kerang laut berukuran kecil. Biasanya satu porsi Kupang Lontong berisi potongan lontong, disiram kerang berkuah, ditambah sepotong lento atau semacam perkedel dari singkong. Rasa kuah kerangnya itu segar dan sedikit manis dari bumbu petisnya.
Saya segera duduk dan rupanya pesanan saya yang pertama datang. Suami saya melihat pesanan saya dan tertawa, lalu menggibah saya di depan anak-anak. Eh, kalau di depan saya, namanya bukan gibah, ya?
"Tuh, lihat mamamu. Makan di mal kok, yang dipesan hidangan tradisional."
"Lah, mama dah lama nggak makan kupang. Mumpung ada niy," sahut saya cuek.
Lalu anak-anak saya suruh mencicipi semua, mumpung pesanan mereka belum datang. Mereka pun bertanya kupang itu apa dan kalau kerang, mengapa ukurannya kecil-kecil.
Steak pesanan anak-anak datang dan mereka mulai makan dengan tenang. Tak lama pesanan suami saya juga datang berupa sekotak makanan. Rupanya ia memesan satu paket box hidangan Korea, Bulgogi. Oh, makanya dia tertawakan saya beli masakan Indonesia. Saya jadi merasa menjadi pejuang kuliner Indonesia yang makan di tengah penggemar kuliner asing.
Saya jadi ragu masakan Indonesia bisa menjadi tuan di negerinya sendiri. Saya lihat orang-orang yang makan di food court itu, rata-rata memesan masakan Jepang, China, atau Korea. Apa memang setiap hari seperti itu, atau kebetulan saja pas saya makan, yang saya temui adalah orang-orang penggemar hidangan franchise?
Saya berpikir hidangan seperti Kupang Lontong dan hidangan tradisional lainnya, harus lebih gencar dipromosikan sebagai kuliner Indonesia. Anak-anak dan generasi muda - yang sudah terjerat dengan berbagai kuliner asing - perlu dikenalkan berbagai hidangan tradisional. Peribahasa lama masih berlaku: kalau tak kenal, maka tak sayang. Kaitannya dengan kuliner tradisional ini, kalau tidak dikenal anak-anak dan generasi muda, bagaimana mau disayang dan dihargai lebih-lebih disukai?
Solusinya kita nggak usah muluk-muluk, mulai dari yang sederhana saja. Misalnya posting makanan tradisional yang kita beli dan diberi caption yang menarik; meminta anak-anak mencoba berbagai jenis masakan tradisional, minimal mereka mengerti masakan A dari daerah B; menghidangkan  masakan tradisional dalam menu sehari-hari.
Apa perlu boikot kuliner China, Jepang, dan Korea? Ya, tidak perlu. Sesekali makan kuliner asing malah bagus agar lidah kita tidak manja dengan rasa yang itu-itu saja. Supaya kalau pergi ke luar negeri, lidahnya mudah beradaptasi, dan nggak selalu harus cari nasi, seperti artikel Pak Tonny yang ini, hehehe.
Salam.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H