Bumi telah tua, zaman telah sungguh-sungguh berubah. Dahulu kala, manusia tidak bisa dibilang bekerja, jika tidak berada di tempat kerja. Manusia di zaman purba harus berburu untuk mendapatkan hewan buruan, petani harus datang ke sawah untuk menanam padi secara real, guru harus ke sekolah untuk bertemu langsung dengan murid-muridnya.
Zaman berkembang memberikan keleluasaan dan dunia maya yang serba menjanjikan. Jenis pekerjaan pun kini berkembang menjadi semakin banyak dan sebagian besar dapat dikerjakan hanya di dalam kamar yang sempit, asal ada gadget dan jaringan internet.
Datangnya pandemi di akhir 2019 yang kemudian bertahan hingga dua tahun, turut menjadi alasan sehingga beberapa pekerjaan lain yang bukan pekerjaan pelayanan publik, dapat dikerjakan secara online.Â
Guru dan dosen bertemu murid dan mahasiswanya tanpa tatap muka secara langsung, melainkan bermodalkan zoom.Â
Pegawai negeri sipil disarankan pula untuk Work From Home (WFH), terutama yang bisa melaksanakan pekerjaan dari rumah. Demikian pula pekerja kantoran di sektor swasta.
Kebijakan KemenLHK (Kementerian tempat saya bekerja) saat pandemi saat itu diserahkan penuh pada kepala-kepala satker, sesuai dengan kasus Covid-19 di kantor masing-masing.Â
Selama pandemi, kalau saya tidak salah ingat, ada 6 rekan kerja yang dinyatakan positif covid dan dua di antaranya wafat karena memiliki penyakit bawaan.
Pada saat ada yang terinfeksi virus corona, kebijakan kepala balai kami adalah WFH seluruh pegawai, kecuali penjaga kantor.Â
WFH ini bisa berjalan 1 - 2 minggu. Sedangkan pada saat tidak ada yang terinfeksi covid-19, dan masih suasana pandemi, balai kami mengeluarkan kebijakan untuk WFH 25 - 50% tergantung status covid di kota kami, kuning atau merah. Dengan demikian dalam sepekan biasa kami WFO dua hari, dan WFH tiga hari, atau sebaliknya.
Setelah mengalami masa-masa WFH dan WFO tentu saja saya merasakan ada enaknya dan ada nggak enaknya juga. Semuanya akan saya paparkan dalam artikel ini.