Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pengalaman Masa Kecil: Belajar Kemandirian di SD Negeri di Kota Kecil, Sumenep Madura

5 Desember 2022   16:00 Diperbarui: 5 Desember 2022   21:40 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melanjutkan kisah  masa kecil saya setelah pindah  dari sebuah SD swasta kota besar (Semarang) ke sebuah SD negeri di kota kecil (Sumenep) pada tahun 1984, kira-kira perubahan apa yang saya alami? Sebuah kemunduran atau kemajuan? Atau stagnan alias B aja?

Sebagai anak-anak waktu itu, banyak hal baru yang belum pernah saya alami di sekolah sebelumnya. Situasi dan aturan sekolah sangat berbeda. Di sekolah sebelumnya, murid hanya fokus belajar saja, sedangkan di sekolah yang baru, murid dituntut untuk menjadi bagian dari seluruh sendi kehidupan sekolah.

Begini cerita konkritnya, sewaktu saya bersekolah di SDN Kolor Sumenep, saya masih ingat ada jadwal piket di mana siswa harus bekerja di dapur membuat minuman teh untuk guru.

Mungkin seharusnya anak kelas 5-6 saja yang melakukannya tapi waktu itu saya yang masih kelas 4 juga kebagian giliran memasak air bersama teman. Nah, masak airnya menggunakan kompor minyak tanah yang harus dinyalakan dengan memantik api dari korek api, lalu mendekatkan api pada sumbu kompor.

Hmm, entah teman saya sedang sibuk apa, dia menyuruh saya menyalakan kompor. Namanya saya anak kota yang manja dan tidak pernah masuk dapur, saya terbengong melihat bentuk kompor yang tidak kelihatan sumbunya. Hanya kelihatan lubang melingkar tanpa sumbu. Korek apinya pun yang manual.

Waktu itu saya jarang menyalakan korek api, jadi saya menyalakan api dengan takut-takut, lantas dengan gugup menjatuhkan korek api yang masih menyala ke lubang sumbu. Beberapa kali demikian tanpa hasil karena apinya mati sebelum mencapai sumbu kompor. Kompor minyak tanah itu tetap membisu seperti meledek saya.

Akhirnya teman saya menyadari kebodohan saya yang tidak bisa menyalakan kompor. Dia baik dan tidak mengolok-olok saya, melainkan langsung mengambil alih pekerjaan dan menunjukkan hal paling sederhana yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

"Ini sumbunya harus dinaikkan dulu," tuturnya lembut sambil menarik tuas di sisi kompor dan perlahan sumbu naik, muncul di permukaan lubang yang melingkar tadi. Terlihat batang-batang korek api yang belum sepenuhnya terbakar mengotori sela-sela sumbu. 

Oh my God ... muka saya mungkin sudah merah seperti kepiting rebus. Akhirnya oleh teman, saya disuruh balik ke kelas dan dia melanjutkan acara menyeduh teh yang ribet bin riweuh dalam pikiran saya si anak manja, hahaha.

Setelah kebodohan satu itu, ada lagi kebodohan yang saya buat yaitu saat piket di koperasi sekolah. Saat saya bersekolah kelas 4 di Sumenep itu, kebetulan ada pemilihan ketua koperasi. Ketua koperasi harus dari kalangan murid. Entah karena saya pindahan dari kota besar, entah saya dianggap mampu, singkat cerita melalui proses penunjukan langsung, saya dipilih menjadi ketua koperasi.

Saya bingung karena tidak tahu jadi ketua koperasi itu harus bagaimana, hahaha. Habis bu guru main tunjuk saja, sih. Waktu itu sempat kami para pengurus koperasi mengikuti rapat besar di sebuah gedung. Tapi saya lupa apa yang dibahas. Sepertinya itu rapat dengan peserta pengurus koperasi  dari semua sekolah di Sumenep.

Salah satu usaha yang dikelola koperasi adalah penjualan kue-kue dan kerupuk. Sebelum masuk sekolah dan pada saat jam istirahat, bergantian pengurus koperasi menjaga jualan. Saya juga mendapat giliran.

Kerupuk di sekolah merupakan kerupuk lebar yang dimakan dengan sambal tumis. Jadi kerupuk diambil, lalu anak-anak mengambil sendiri sambal cair yang disediakan, membuatnya rata di seluruh permukaan kerupuk, lalu pergi sambil menggigit-gigit kerupuk dengan santuy. Saya masih ingat dengan rasa kerupuk plus sambal yang unik namun enak ini.

Kerupuk dijual satu lembarnya seharga lima rupiah. Iya betul lima rupiah, maklumi saja itu masih tahun 1984.

Melayani pembeli cukup riweuh juga kalau cuma sendiri. Ada yang minta diambilkan kerupuk, diambilkan kue, ada yang mau membayar, hingga kadang penjual lalai. Penjual? Elu kaleee. Hihihi, iya, saya lalai.

Saat sepi pembeli, saya melihat uang pembayaran sebuah kerupuk di tangan saya, seharusnya ada 5 pecahan 1 rupiah, kan, tapi adanya hanya 4! Kurang satu rupiah!

Pusing kepala saya karena saya juga tidak membawa uang jajan untuk mengganti uang yang kurang. Di tengah kebingungan saya, dewa penolong datang. Seorang kakak kelas 6 mau menggantikan saya.

"Dek, sana ke kelas, biar aku gantikan," ucapnya ramah.

Saya kenal kakak kelas tersebut, dia anak tentara juga dan tinggal tak jauh dari rumah dinas ayah.

Tanpa ba bi bu, saya mengangguk. Meninggalkan uang dalam tempat uang. Ngacir deh saya pokoknya nggak mau tahu, hahaha. Slamet slamet wis, batin saya dalam hati.

Rupanya si kakak kelas tidak mau membiarkan saya lolos. Waktu esoknya kami ketemu di lingkungan rumah dinas, dia menyapa saya yang sedang bermain dengan teman kompleks tentara.

"Eh si Vita ini jaga koperasi kok nerima uangnya kurang, lho," kira-kira begitulah ia berbicara. Ih, malu-maluin saja si kakak buka aib. Mana pas ada banyak orang pula.

Untungnya orang-orang kompleks tidak merespons ucapan si kakak dan saya juga pura-pura bego.

"Apa sih, apa sih?" tanya saya pasang tampang inosen. 

Kakak kelas yang baik hati itu hanya tertawa geli tapi tak mau memperpanjang permasalahan. Dan terkuburlah kisah uang yang kurang itu. 

Hai kakak kelas di manapun kau berada sekarang, maafkan adik kelasmu yang culun dan cemen ini, hihihi. Mohon diikhlaskan sudah  menggenapi uang yang kurang.

Dari kisah di atas yang masih saya ingat itu, saya baru bisa menyimpulkan sekarang ini, bahwa banyak pelajaran kemandirian yang bisa dipetik dari sekolah SD saya di kota kecil yang tenang itu. Pelajaran kemandirian itu antara lain:

1. Pelajaran memasak air di dapur mulai dari menyalakan kompor hingga menyeduh teh. Sepertinya sepele, tapi bila tidak pernah melakukan tentu akan canggung dan ngah-ngoh seperti saya waktu itu.

2. Pelajaran berorganisasi sejak dini. Murid dilibatkan menjadi pengurus koperasi, bahkan menjadi ketua. Walau saya sesalkan saya kurang aktif bertanya saat itu dan hanya sekadar menjalani saja. Apalagi kemudian saya cepat pindah sekolah lagi, terpaksa babay-babay nggak jadi ketua koperasi lagi.

3. Pelajaran berwira usaha. Bertugas di koperasi sekolah dan menjalankan penjualan secara langsung itu sebenarnya sangat menarik. Saya senang karena seolah-olah yang dilarisi adalah jualan saya sendiri. Yang penting tidak salah hitung uang seperti yang sudah saya lakukan. But, don't worry kesalahan hitungnya cuma satu kali itu saja, kok.

So, pindah ke kota kecil mungkin kita akan sedih dan takut akan mengalami kemunduran, ternyata kekhawatiran itu bisa jadi tidak terbukti. Bisa jadi di sekolah yang baru, sekecil apapun kotanya, kita justru mengalami hal-hal baru yang sebelumnya tak pernah terlintas di kepala. And that's great! 

Pengalaman baru akan membuat kita kaya.

Demikian sepenggal kisah masa kecil saya di Sumenep, melengkapi kisah yang kemarin saya ceritakan. Terima kasih sudah membaca, mator sakalangkong.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun