Makassar, 18 November 2022. Sejak pagi di hari itu, hujan turun rintik kadang agak deras. Saya bersiap untuk menghadiri pertemuan Dharma Wanita (DW) di kantor, sambil berharap hujan segera reda agar ibu-ibu yang datang banyak.
Alhamdulillah, walau hujan tak kunjung berhenti, acara DW yang kali itu diisi materi menanam anggrek, cukup sukses. Lumayan banyak yang hadir dan ikut praktik menanam.
Usai acara seperti biasa sebagian ibu-ibu istri pegawai masih bercengkrama di ruang rapat. Sebagian karaokean, sebagian yang lain kembali ke ruangan masing-masing (yang berstatus pegawai kantor), dan tim bidang pendidikan masih lanjut di area urban farming untuk menuntaskan menata anggrek yang telah diikat pada media tanam.
Hujan menderas tepat saat bapak-bapak salat jumat. Dan tak kunjung berhenti setelahnya.
Saya masih menganggap ini hujan biasa. Kalaupun sampai banjir, palingan hanya menggenangi jalanan, seperti yang terjadi seminggu sebelumnya.
Saya masih duduk di ruangan ketika salah satu istri pegawai yang tadi datang ke acara DW, menelepon.
"Ibu, tolong kasitau bapaknya Toni (bukan nama sebenarnya), cepat pulang. Air masuk rumah. Saya telepon tidak aktif hapenya!"
Suara panik si ibu DW membuat saya ikut panik, dan mencari bapaknya Toni di ruangannya. Ternyata bapak-bapak belum pada balik dari masjid (ada masjid dekat kantor), karena curahan hujan terlalu deras.
Saya chat ibunya Toni mengabarkan suaminya belum balik dari masjid.
Saya kembali ke ruangan dan ngobrol dengan beberapa teman, mengomentari hujan yang makin deras, hingga chat dari putri bungsu saya masuk ke ponsel.
"Mama, air masuk ke rumah."
Saya langsung panik, karena sudah bertahun-tahun sejak air masuk ke rumah tapi hanya sampai teras. Lagipula rumah kami baru-baru direnov dan ditinggikan.
Hujan yang deras tidak memungkinkan saya pulang saat itu juga, lagipula kendaraan online juga jarang yang respons jika hujan deras begini.
Saya memastikan ke anak saya bahwa ayahnya ada di rumah. Syukurlah rupanya usai jemput anak, suami saya salat jumat di dekat rumah dan pulang saat air masuk ke dalam rumah. Ia mengangkut barang-barang yang ada di tempat rendah, ke atas lemari atau meja.
Saya hanya bisa memandangi gambar-gambar air di dalam rumah saya, yang dikirimkan melalui chat anak saya. Bersamaan dengan itu di grup WA kantor, beberapa teman mengunggah gambar air memasuki rumah mereka.
Subhanallah...secara merata, air sudah membanjiri rumah-rumah kami yang tinggal di seputaran Sudiang (nama kelurahan).
Memang tidak semua. Yang rumahnya sudah ditinggikan, aman. Tapi yang mengalami kebanjiran, rata-rata baru pertama kali dan tidak pernah menyangka air akan masuk ke dalam rumah hingga 20 - 30 cm, bahkan lebih!
Setelah kejadian banjir banyak sekali orang berkomentar: ... selama 17 tahun tinggal di sini, baru kali ini air masuk ke rumah.
Ganti angka 17 dengan 20 untuk rumah kami. Ada pula orang yang berujar itu adalah pertama dalam 30 tahun air masuk ke rumah yang dikiranya akan selalu aman dari kebanjiran.
Berita online yang saya baca setelah itu mengabarkan bahwa banjir memang terjadi merata di perumahan-perumahan daerah Sudiang. Juga di beberapa daerah lainnya. Bahkan di Kota Pare-Pare dan Kabupaten Sidrap, banjir parah menggenangi berbagai wilayah. Fix banjir menggenangi beberapa daerah di Provinsi Sulawesi Selatan.
Saya bertahan di kantor sampai jam pulang 16.30 WITA. Setelah memastikan bahwa suami tidak bisa menjemput karena akses keluar rumah tergenang air, dan ia juga sibuk mengeluarkan air dari dalam rumah, saya berinisiatif order gocar.
Walaupun sebelumnya teman mencoba order tapi tidak ada yang respons, karena berita jalan poros (jl Perintis Kemerdekaan) dan tol macet parah, saya tetap mencoba order dan alhamdulillah ada gocar yang respons.
Deretan mobil berjalan merambat menuju rumah saya di perumahan Bumi Permata Sudiang. Driver mencoba jalan alternatif terdekat dan saya mewanti-wanti jika masuk ke perumahan harus lewat gerbang belakang, karena gerbang depan dan jalanan sudah bisa dipastikan tergenang parah. Hampir maghrib saat itu dan saya berhasil masuk perumahan dengan aman.
Perumahan gelap karena listrik mati, mungkin demi keamanan. Sesampai di ujung lorong blok tempat saya tinggal, terlihat genangan air yang cukup dalam, kira-kira sebetis.
Driver minta maaf karena ia tidak bisa lanjut. Saya juga tak mungkin memaksa. Lagipula sudah dekat, hanya kurang tujuh rumah lagi. Saya pun turun dan berjalan di genangan untuk mencapai rumah saya.
Rumah gelap, hanya di ruang tamu menyala lampu emergency. Suami saya sibuk bersih-bersih dan membuang air keluar melalui garasi/teras. Anak-anak sudah aman di lantai 2, tapi mengeluh lapar ketika saya datang. Untung saya tadi beli bolen pisang dan kotak bolen saya kirim ke lantai 2 untuk mengganjal perut-perut yang kelaparan.
Saya langsung ambil alih pengki dan mulai membuang air di dalam rumah keluar, melalui pintu samping yang langsung berhubungan dengan teras/garasi. Pekerjaan membuang air pakai pengki itu saya lakukan sampai air di dalam rumah habis. Lumpur dan sampah menumpuk tapi kami tak bisa berbuat apa-apa untuk membersihkan, karena air terbatas.
Saya membersihkan ruang tamu yang relatif layak untuk ditempati, karena lantai ruang tamu memang didesain lebih tinggi dari ruang dalam. Suami pergi beli makan malam dan kami semua makan di ruang tamu.Â
Setelah makan saya suruh anak-anak tidur setelah sebelumnya buang air kecil dan membersihkan tubuh dengan air yang tersisa di bak penampung. Saya mengikuti mereka tidur di lantai 2, sedangkan suami mau di lantai 1 sambil berjaga-jaga kalau-kalau air kembali naik.
Tapi hujan sudah reda saat itu, dan walaupun genangan air di jalan depan rumah masih lumayan tinggi, insyaAllah jika hujan tak lagi kembali, jelang dini hari semua genangan air itu akan surut.
Kami lupakan dulu sejenak rumah yang berantakan.
Hari Sabtu esoknya, cuaca cukup cerah, listrik sudah hidup lagi. Alhamdulillah mesin air dan kulkas masih berfungsi dengan baik, walau sempat terendam air.
Acara bersih-bersih dimulai. Hampir seluruh lorong di perumahan kami, menjemur barang-barang di depan rumah, dan hal ini masih dilakukan bahkan hingga seminggu ke depan setelah hari H.
Luar biasa kerusakan yang terjadi hanya karena air masuk setinggi 25 cm (di rumah kami). Tapi menjadi pelajaran dan menambah rasa empati kami pada mereka yang mengalami banjir hampir setiap tahun, tanpa opsi bisa pindah ke daerah bebas banjir.
Kejadian banjir parah di rumah kami, yang baru sekali ini terjadi (dulu pernah karena air rembes tapi tidak banjir ke seluruh bagian rumah seperti kemarin), membuat trauma. Setiap terdengar hujan turun cukup deras, saya jadi was-was.
Untungnya pas kejadian banjir waktu itu, suami di rumah, jadi bisa menyelamatkan sebagian barang-barang agar tak terendam. Banyak yang saat kejadian banjir, rumahnya kosong sehingga kerusakan yang terjadi lebih parah.
Untungnya juga air hanya masuk 25 cm dan tidak lebih. Banyak yang air masuk setengah meter atau lebih.
Untungnya air surut malam itu juga. Dan masih banyak untung yang lain, khas manusia Indonesia kalau ketimpa musibah - tetap ada yang bisa disyukuri.
Lewat seminggu kejadian banjir, pada suatu malam anak-anak kecil berteriak memanggil di pagar.
"Bu! Dipanggil bu RT!"
Bu RT menanti di pos ronda dengan tumpukan beras dan telur. Baru kali itu saya merasa benar-benar menjadi korban banjir.
Terima kasih untuk jamaah masjid yang telah berbagi, semoga amal yang ditunaikan mendapat ridha dan balasan terbaik dari Allah SWT.
Semoga jika hujan kembali turun dengan deras kelak, sudah ada antisipasi dari pihak berwenang, agar air mengalir ke tempat yang rendah (laut) tanpa harus singgah masuk di rumah-rumah penduduk.
Aamiin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H