Warungnya sederhana, tapi sebenarnya bukan di warung itu ia berjualan, melainkan di teras warung yang luas. Gerobaknya ada di sudut dekat jalan, sehingga siapapun bisa membeli jualannya tanpa harus masuk warung.
Dan yang kukira warung pun, sebenarnya adalah sebuah kantin kantor pemerintahan.
Aku ragu-ragu ketika Doni mengajakku makan siang di situ.
"Kantin kantor? Bukannya khusus buat pegawai kantor saja?" bisikku ketika turun dari boncengan motor Doni.
Doni hanya menggeleng, lalu setelah motornya terparkir rapi, ia menyapa mas-mas penjual mi ayam dengan sok akrab.
"Mas Narto, mi ayam e loro!" celetuk Doni memesan mi ayam dua porsi.
Doni menanyakan apa aku mau duduk di dalam kantin atau di teras saja, dan aku memilih di teras, agar lebih sejuk.
Mas Narto mulai meracik pesanan kami. Ia mengambil mi yang masih mentah, lalu memasukkan mi tersebut di dandang yang berisi air panas di gerobaknya.
"Mau minya agak keras atau empuk sekali?" Mas Narto bertanya.
"Empuk," jawabku ketika Doni menoleh dengan pandangan bertanya.
Mas Narto mencemplungkan sayuran di dandang, lalu setelah dirasa mi-nya cukup lunak sesuai request, ia meletakkan mi dan sayur ke dalam mangkuk.
Berikutnya dari tempat-tempat di meja gerobaknya, ia mengeluarkan sepanci ayam berbumbu warna kecokelatan yang samar harumnya menggoda.
"Purun ceker?" Narto menawari sambil menunjukkan beberapa ceker dalam panci. Sungguh menerbitkan liur. Aku mengangguk kuat.
Mi, sayur, dan topping ayam berbumbu beserta cekernya yang menggoda telah rapi tersaji pada mangkuk. Berikutnya Narto menyiram sajian mi dengan kuah bakso yang ia ambil dari dandang sebelah kiri. Selain mi ayam, Mas Narto juga menjual bakso dan mi kuah serta mi goreng.
Dengan terampil Mas Narto mengatur mangkuk di nampan, lengkap dengan saus sambal botol, saus tomat, sambal tumis, kecap dan potongan jeruk nipis. Terakhir krupuk pangsit ukuran kecil-kecil ia tempatkan pada piring kecil sebagai pelengkap sajian mi.
Mi ayam Mas Narto siap dinikmati. Kepulan asap tipis tanda hidangan masih panas menguarkan aroma mi yang sedap ke udara.
Aku tak sabar segera meraih sendok garpu dan menikmati mi ayam racikan Mas Narto. Mi dan sayurnya berada pada tingkat kematangan yang pas sesuai yang kuinginkan. Rasa topping ayam bumbunya berpadu dengan kuah bakso, sangat menggigit.
"Enak, kan?" tanya Doni saat setengah mangkuk mi sudah berpindah ke dalam perutku. Aku mengangguk-angguk tanpa bersuara karena fokus mengunyah. Doni tersenyum senang melihatku makan dengan lahap.
Mi ayam tandas di mangkukku, dan aku tersenyum malu-malu pada lelaki di sebelahku. Apakah aku kelihatan rakus tadi saat makan? Apakah bibirku cemot?
Doni masuk ke dalam kantin dan keluar dengan dua botol teh dingin di tangannya. Aku dengan suka cita menerima teh dan segera meminumnya. Kami ngobrol beberapa waktu lamanya, mendiskusikan rencana besar yang akan kami lakukan berdua.
Pegawai kantor kehutanan bergantian keluar masuk kantin. Mereka semua tampak sibuk dan makan dengan cepat. Tapi aku tak peduli dengan atmosfer kantin, melainkan fokus mendengarkan rencana-rencana Doni, rencana-rencana kami.
Kantin kantor kehutanan dan mi ayam Mas Narto kemudian menjadi salah satu kebiasaan kami. Tempat itu dan semangkuk mi ayam menjadi saksi bagaimana kami berproses hingga hari ini. Kadang-kadang jika Doni sedang tak bisa menemani, aku akan mengajak Dahlia, adikku, untuk makan mi ayam Mas Narto. Dahlia dengan segera juga termehek-mehek dengan mi ayam lezat itu.
"Jadi minggu depan aku akan pergi. Jika aku sudah settle di tempat yang baru, aku akan mulai mencari rumah. Lalu kamu bisa mulai mengurus kepindahanmu, ikut suami," tutur Doni pada makan siang kami yang ke sekian.
Aku mengangguk sedih. Doni akan pindah ke Jawa. Walaupun aku akan segera menyusulnya, namun tetap saja selama paling cepat enam bulan, kami tidak akan saling berjumpa.
Enam bulan kemudian...
Aku benar-benar merasa lemas dan tidak enak badan. Dahlia terus nyerocos tentang mi ayam Mas Narto. Ia berusaha membangkitkan seleraku yang tidak pernah makan banyak dalam enam bulan ini sejak Doni pergi.
Ibu mendorongku untuk segera pergi, siapa tahu mi ayam Mas Narto dapat mengembalikan selera makanku. Aku mengikuti Dahlia dengan setengah hati.
Duduk di bangku yang sama seperti enam bulan sebelumnya membuatku de javu. Bedanya kini tak ada Doni lagi di sampingku.
"Baru kelihatan, Mbak?" sapa mas Narto ramah. Dahlia memesan dua porsi mi ayam. Aku mengamati ritual mas Narto meracik mi, tanpa gairah. Jika dulu air liurku yang menetes, sekarang air mataku menetes tanpa bisa kucegah, namun sikutan Dahlia di pinggangku membuatku cepat-cepat mengusap mata.
"Jangan jadikan dirimu pusat perhatian," bisik Dahlia sambil memberi kode padaku merujuk ke sekumpulan bapak-bapak yang sedang ngopi di meja sebelah.
Dua porsi mi ayam segera hadir di hadapan kami. Tanpa ba-bi-bu, Dahlia langsung makan dengan gembira dan penuh selera. Aku mengaduk mi pelan, lalu menyuap sesendok.Â
Entah ini karena apa, rasa mi ayam mas Narto tak pernah sama lagi di lidahku, sejak Doni menghilang - tak mengabariku sejak enam bulan lalu.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H