Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Cinta Penuh Risiko Asri dan Daro yang Sesungguhnya Tak Perlu Terjadi

5 November 2022   23:50 Diperbarui: 6 November 2022   00:04 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cinta Anak Karaeng (dokpri)

Judul                     : Cinta Anak Karaeng

Tahun                   : 2013

Pengarang          : Ahmad Sahide

Tebal                     : x dan 137 halaman

Penerbit              : The Phinisi Press Yogyakarta

Novel "Cinta Anak Karaeng" tidak terlalu tebal, sehingga bisa dibaca dalam sekali duduk. Faktanya saya menyelesaikannya kurang lebih tiga hari, karena disela dengan melakukan aktivitas lainnya. Novel ini sebenarnya bukan koleksi pribadi saya, namun milik teman yang sudah tidak hendak dibaca lagi. 

Judul yang menarik membuat saya memutuskan untuk mengamankan buku ini dan membacanya. Karaeng adalah istilah/gelar/sebutan untuk bangsawan di kalangan suku Makassar, seperti Andi pada suku Bugis. Ketertarikan kedua setelah judulnya adalah karena settingnya Bulukumba, sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang menjadi lokasi kegiatan kantor saya beberapa tahun terakhir.

"Cinta Anak Karaeng" mengisahkan tentang Karaeng Asri, seorang gadis berusia 25 tahun, keturunan bangsawan di Desa Kindang, Bulukumba yang jatuh cinta pada Daro (Darwis), pemuda 20 tahun. Daro bukan keturunan bangsawan, bahkan ia hanya lulusan SD dan pengangguran.

Keluarga Karaeng Asri diceritakan sudah menampik delapan kali lamaran untuk Karaeng Asri hanya karena si pelamar bukan berdarah Karaeng. Untuk keluarga besar Karaeng Asri, calon suaminya kelak harusnya keturunan Karaeng juga.

Karaeng Asri sendiri sebenarnya tidak sependapat dengan pakem yang dipegang teguh keluarganya itu. Baginya manusia diciptakan sama. Menjadi keturunan Karaeng bukanlah menjadi penjamin bahwa keluarganya lebih mulia daripada keluarga lainnya.

Asri dan Daro sendiri awalnya hanya teman sepermainan. Setiap sore bersama pemuda-pemudi Desa Kindang, mereka bertemu dan bercakap-cakap di depan SD, membunuh sepi dan mengisi waktu. Daro yang pertama kali merasa tertarik pada Karaeng Asri dan memutuskan untuk mendekatinya, walaupun dengan bekal bantuan dukun. Niatnya disambut baik oleh Karaeng Asri, yang kemudian bermimpi tentang Daro.

Mereka sudah tahu bahwa cinta mereka penuh risiko. Asri bahkan berani bohong pada orang tuanya saat pertama kali kencan dengan Daro di Pantai Bira. Ia pamit pergi ke Bulukumba dengan menumpang mobil umum, kenyataannya ia pergi menemui Daro dan kemudian berboncengan ke pantai.

Hubungan terlarang yang disembunyikan itu lama-lama terkuak, yang menyisakan luka pada kedua belah pihak. Luka fisik mungkin bisa dilupa dengan berjalannya waktu, namun luka batin tak akan hilang selama ingatan ada di kepala. Sepupu Asri dan beberapa orang Karaeng datang menghunus badik ke rumah Daro, mencari Daro dan kemudian mengusir kedua orang tua Daro dari Kindang. Kedua sejoli dipisahkan dengan semena-mena dan pilihan ada di tangan mereka, akan memperjuangkan sampai titik darah penghabisan, atau menyerah pada keadaan yang sebenarnya sudah mereka perkirakan.

Membaca novel ini ada beberapa hal menarik yang bisa saya sampaikan. Pertama, pengarangnya Ahmad Sahide adalah pemuda asli Desa Kindang, Bulukumba, sehingga penggambaran setting novel sangat autentik. Paling tidak dari novel, saya mengetahui bahwa menyeberang ke Pulau Kambing dari Pantai Bira itu tidak terlalu mahal dan sepertinya mengasyikkan. Kapan-kapan saya mau juga ah, berkunjung ke Pulau Kambing untuk melihat pulau tempat Asri dan Daro kencan pertama, hahaha.

Ahmad Sahide selain seorang pegiat literasi, kemudian menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia seorang akademisi yang sukses dan sudah menjalani studi hingga jenjang S3.

Kedua, pesan yang disampaikan melalui novel ini adalah autokritik terhadap budaya Karaeng yang dijunjung tinggi. Sahide seolah ingin menyampaikan, jika para bangsawan sangat kaku dalam memegang nilai-nilai sehingga tidak memperbolehkan seorang keturunan Karaeng menikah dengan orang biasa, maka kisah yang lebih tragis dari kisah Asri dan Daro bukan tidak mungkin, dapat terjadi.

Ketiga, saya heran juga dengan orang tua Asri yang menampik lamaran hingga delapan kali. Seharusnya dalam kehidupan nyata, mereka tidak sepantasnya melakukan hal itu kepada anak perempuan mereka. Seharusnya pada penolakan pertama, mereka kemudian mencarikan sendiri jodoh yang sekufu untuk Asri. Kalau masih ingin garis keturunan berdarah Karaeng, tentu Asri dicarikan jodoh dari kalangan keluarga atau dari kenalan yang sama-sama Karaeng.

Keempat, sampai hati sekali sang pengarang membuat Asri yang lulusan sarjana, PNS dan guru pula, jatuh hati pada Daro yang pemalas, lulusan SD, tidak punya pekerjaan tetap, bisanya hanya minta uang pada kedua orang tuanya yang petani. Mungkin Pak Sahide ingin memberikan contoh yang ekstrem, atau boleh jadi ada kasus serupa terjadi di kampung halamannya sana.

Saya bukan penganut faham membeda-bedakan manusia karena keturunan, tapiii ... kalaupun mereka berdua sampai berumah tangga, pasti tidak bahagia.

Terakhir, novel ini cukup menarik untuk dibaca sebagai referensi bagi penulis yang hendak membuat novel dengan balutan budaya yang kental. Salam.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun