Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memori G 21, Tetanggaku Kamu di Mana?

15 Oktober 2022   16:34 Diperbarui: 15 Oktober 2022   16:53 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lingkungan Tetangga yang Tenang (Pexels/Daniel Frank)

Sebagian besar masa kecil, saya jalani dengan tinggal di kompleks perumahan tentara, tepatnya di Kota Semarang. Tentu saja karena ayah saya seorang tentara, tepatnya TNI-AD, dan pernah bertugas selama lebih dari 12 tahun di Arhanud-RI 15 Jatingaleh Semarang pada tahun 1972-1984.

Biasanya kompleks perumahan tentara pasti tetangganya banyak, apalagi kalau tinggal di asrama. Kebetulan sependek ingatan saya, ayah selalu tinggal di perumahan dengan tetangga yang tidak terlalu banyak. Yang sering berinteraksi palingan hanya satu dua rumah sebelah saja.

Rumah pertama yang saya ingat adalah D.2. Perumahan tentara memang biasanya ada blok-bloknya dan semakin kecil alfabetnya maka rumahnya semakin besar. Kesimpulan saya demikian entah benar entah tidak. Blok A tentu adalah rumah yang paling besar dan dihuni oleh pimpinan tertinggi dari sebuah kesatuan. 

Rumah D.2 ini sebetulnya tidak terlalu saya ingat karena keluarga saya menempatinya sejak saya belum dilahirkan. Saya dilahirkan di rumah tersebut tapi tidak ada ingatan yang kuat tentang rumah itu kecuali dari cerita-cerita kakak. Rumah tersebut adalah rumah besar yang agak rusak dan berhantu. Kami tinggal di sana bersama beberapa keluarga tentara yang lain. 

Rumah pertama yang terekam dalam memori saya adalah E.6, rumah yang kami tinggali setelah D.2. Rumah E.6 ini lumayan besar. Walau ruang-ruangnya tak banyak saya ingat, namun saya ingat bahwa kami bertetangga couple dengan seorang tentara juga yang bernama Pak Susilo. 

Entah rumah couple atau rumah besar yang dibagi dua, yang jelas di antara rumah kami dan rumah Pak Susilo itu ada pintu sambung yang terkunci. Sebagai anak kecil waktu itu saya hanya menerima kondisi tanpa banyak bertanya.

Pak Susilo punya tiga orang anak bernama mas Ario, mbak Sasi, dan mbak Tami. Usia mbak Tami ini sudah seumuran kakak saya, jadi mas Ario dan mbak Sasi lebih tua lagi. 

Saya masih ingat jika saya merasa bete dan tidak punya kawan bermain, saya akan menundukkan kepala, berteriak melalui bawah pintu sambung rumah kami: "Ayiooo, Caciii, Tamiii!!!" meneriakkan nama-nama anak tetangga saya dengan suara yang masih cadel. Padahal saya juga jarang main dengan mereka sebenarnya. Kalau sekarang, mungkin tingkah saya itu adalah wujud kegabutan anak kecil zaman doeloe.

Saat saya masuk TK, kami pindah ke sebuah rumah ... hmm, saya lupa bloknya, sepertinya H. Rumah ini lebih kecil dibandingkan dengan E.6. Letaknya di ujung deretan rumah-rumah couple kecil. Semua rumah di sebelah kami adalah rumah couple (dempet dua-dua), sedangkan rumah kami berdiri sendiri. 

Saya masih ingat rumah blok H itu hanya memiliki dua buah kamar tidur, sedangkan kami keluarga besar. Maka satu kamar untuk kedua orang tua, satu kamar dihuni kakak sulung saya, dan sisanya ... masih 5 orang lagi, ngumpul di garasi!

Garasi disulap menjadi kamar tidur dengan dua ranjang susun. Satu buat dua kakak saya yang laki-laki, satu buat saya, kakak perempuan dan Mbah Nah (adik nenek saya yang tinggal bersama keluarga kami dalam waktu yang cukup lama).

Tetangga kami di sebelah adalah rumah couple yang dihuni oleh Pak Wignyo, Bu Wignyo dan tiga anaknya. Anak bungsu mereka adalah teman TK saya yang bernama Dyah. 

Biasanya saya pulang dan pergi ke sekolah barengan dengan Dyah, diantar Mbah Nah. Dyah sebenarnya lebih senang bermain dengan anak-anak kompleks yang lain, tapi ia kadang-kadang bermain dengan saya. Dyah ini sangat takut dengan bapaknya yang memang galak.

Pernah Dyah datang menjemput saya untuk pergi ke sekolah bersama-sama, tapi saya masih disuapi mama saya. Lalu mama saya bertanya apakah Dyah sudah sarapan dan Dyah menggeleng. Mama saya masuk untuk mengambil satu piring nasi lagi dengan lauk udang untuk Dyah.

Saat makan bersama di teras rumah, lewatlah bapaknya Dyah. Mama saya bilang, "Itu bapakmu berangkat ke kantor, Dyah." Dyah kaget dan reflek menyembunyikan piring nasinya di balik punggung. 

Adegan itu masih jelas terekam di benak saya sampai saat ini, karena saya masih tidak paham apakah Dyah saat itu malu atau takut ketahuan bapaknya sedang sarapan di rumah kami.

Dyah ikut mengantarkan sewaktu keluarga kami pindah lagi ke rumah yang terakhir kami tempati semasa ayah tugas di Semarang, yaitu G.21.

Rumah G.21 ini mungkin rumah yang paling nyaman buat saya dan keluarga. Letaknya strategis di sebelah jalan raya,  dan sangat dekat dengan sekolah dasar tempat kakak-kakak saya bersekolah, SD Slamet Riyadhi. Saya tidak disekolahkan di situ karena umur saya masih belum mencukupi usia masuk SD waktu itu, sehingga orang tua saya mendaftarkan saya di SDK Santo Yusuf yang terletak tak jauh juga dari rumah G.21. 

Cukup berjalan kira-kira antara 500 meter - 1 km, saya kurang jelas karena jalannya belok-belok.

Rumah G.21 ini rumahnya cukup besar khas bangunan bekas Belanda. Ada rumah utama dengan empat ruangan yang difungsikan menjadi ruang tamu, ruang makan, serta dua kamar tidur. Kamar tidurnya besar dan satu kamar dipakai orang tua saya, satu kamar diisi satu ranjang susun, dan dua dipan. Saya, dua kakak perempuan saya dan Mbah Nah tidur di situ.

Selain empat ruangan tersebut, ada tangga turun yang menghubungkan rumah utama dengan bangunan lainnya di belakang. Bangunan tersebut ada beberapa ruangan memanjang yaitu kamar yang dipakai kedua kakak laki-laki saya, dapur, dan kamar mandi. Ada dua WC dan ada juga tempat mencuci. Di kanan dan kiri tangga, ada semacam halaman belakang.

Ada pohon nangka dan pohon srikaya, jajaran tanaman katuk, dan banyak tanaman lainnya yang sudah saya lupakan.

Tetangga sebelah rumah adalah seorang tentara yang pangkatnya lebih tinggi dari ayah saya, saya tidak tahu apa pangkatnya, tapi ayah saya waktu itu sudah kapten. Nama tetangga kami itu adalah Pak Nyoto. Sepertinya ia bukan dari kesatuan yang sama dengan ayah saya.

Pak Nyoto memiliki 3 anak yang semuanya sekolah di sekolah saya. Namanya Mas Aji, Linda, dan Deni. Mas Aji sepertinya waktu itu kelas 6 saat saya kelas 4, Linda kelas 3 dan Deni kelas 2. Saya senang sekali bermain dengan Linda dan Deni. Kadang main ke rumahnya, kadang mereka yang main ke rumah kami.

Selain dengan Linda dan Deni, ada pula tetangga di sebelah rumah mereka yang sering bermain bersama namanya mbak Neneng dan mas Asep. Kalau main ke rumah Linda dan Deni, saya bisa berjam-jam, ikut menonton serial silat yang ditonton keluarga mereka. Waktu itu keluarga kami tidak memiliki alat buat nyetel video - apa namanya ya alat itu, wkwkwk. VCD player, ya?

Saya masih ingat kakak sulung saya kesal karena saya main terlalu lama, dan waktu saya pulang suatu saat pas dia sedang ngepel lantai, lalu dia bilang: "Kenapa kamu pulang?" Atau sapaan sejenis itu. 

Bermain bersama Linda, Deni, dan kakak-kakak yang lain sangat menyenangkan. Pernah suatu saat dengan formasi penuh kami main petak umpet sampai hampir maghrib. Kakak-kakak saya juga ikutan kecuali kakak sulung saya yang waktu itu masih judes wkwkwk (maaf ya mbak, andai kau baca artikelku ini, sekarang sih baik banget dia).

Bu Nyoto juga baik sekali, selalu ramah dan tidak pelit. Waktu itu mama saya buka usaha terima pesanan kue dan masakan. Bu Nyoto adalah salah satu pelanggan setianya. Saya masih ingat membawakan pesanannya berupa Tingting Kacang dan Pesomel Kerang. Tak jarang beliau juga pesan nasi dus. 

Persahabatan antar anak tetangga ini berakhir saat ayah saya dipindahtugaskan ke Sumenep - Madura, saat saya kelas 4 SD. Setelah itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan Linda atau Deni.  Saya pernah googling nama mereka di facebook pun, tak ketemu. Kalau ketemu sekarang pastinya tidak saling ingat lagi karena sudah sama-sama menjadi emak-emak. 

Walau tak pernah lagi berinteraksi, Linda dan Deni tetap tersimpan di hati saya menjadi salah satu teman yang menghiasi dan menceriakan masa kecil saya.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun