Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jangan Ambil Anakku Lagi

10 Oktober 2022   22:03 Diperbarui: 10 Oktober 2022   22:06 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jangan Ambil Anakku Lagi (Pexels/Rene Asmussen)

Saya sama sekali tidak paham mengenai spektrum gangguan jiwa. Menurut saya hal semacam kejiwaan adalah hal yang sangat susah ditelusuri dan diselami. Barangkali hanya yang tahu ilmunya saja yang mampu menelusuri dan menyelaminya. 

Namun sejak dulu memelajari manusia adalah sesuatu yang menurut saya mengasyikkan. Itulah mengapa saat mendaftar perguruan tinggi puluhan tahun lalu, saya juga menuliskan Fakultas Psikologi sebagai salah satu pilihan saya, walau akhirnya saya diterima sebagai mahasiswi Fakultas Perikanan. Kata Allah, level saya cukup memelajari ikan saja, tidak usah manusia. Begitu barangkali. 

Meskipun tidak memahami mengenai gangguan jiwa, namun setelah saya pikirkan kembali jalan hidup saya, ada masa-masa di mana saat itu jiwa saya terganggu, yaitu saat saya kehilangan anak sulung saya, dan lalu mengandung serta melahirkan anak kedua.

Kehilangan putra tercinta pastilah memberikan guncangan besar dalam hidup saya dan suami. Saat itu bukan hanya kesedihan, namun juga rasa bersalah, rasa terpojok, rasa tak berdaya, semua bercampur aduk. 

Tidak ada tempat curhat. Hari pertama meninggalnya putra saya, saya hanya bisa bengong dan merasa hampa. Berjalan menuju pemakaman seperti melayang. Dan saya tidak bisa menangis lepas. Justru saat ibu saya menangis keras, saya menenangkan beliau. 

Baru pada hari-hari selanjutnya, saya bisa menangis diam-diam, lalu curhat pada suami saya. Lalu kemudian saya sempat sakit gejala DBD dan dirawat di rumah sakit. Saat itu rambut saya rontok parah, entah sebab demam, entah karena stres berkepanjangan. 

Waktu kemudian menyembuhkan rasa sakit, walau tidak membuat saya lupa.

Allah memberi gantinya tak lama kemudian. Saya hamil anak kedua.

Trauma kehilangan anak pertama membuat saya dan suami melakukan berbagai hal pencegahan yang sebenarnya tak perlu, seperti melahirkan di Kota Malang, di mana kedua orang tua saya tinggal. Saya dan suami ingin saya melahirkan dalam situasi yang nyaman di dekat orang-orang terkasih, walau dengan konsekuensi terancam tidak ditunggui suami sebab ia tak bisa seenaknya minta cuti. Kalau saya waktu itu memanfaatkan cuti melahirkan 3 bulan.

Kami juga mencari dokter perempuan yang membuat saya nyaman. Kebetulan adik ipar salah satu teman di kantor, berprofesi sebagai dokter kandungan di Kota Malang. Perkenalan pertama sudah membuat saya sreg, sehingga beliaulah yang kami pilih untuk membantu kelahiran anak kedua kami.

Alhamdulillah saat mendekati HPL, suami saya minta cuti dan dua hari setelah ia sampai di Kota Malang, saya mulai kontraksi. Melahirkan anak kedua alhamdulillah tidak sesusah kakaknya dulu. Nina lahir dengan selamat dan sehat walau sempat terlilit tali pusat. 

Kelahiran anak kedua tentu saja membuat saya dan suami bahagia, namun ternyata selain kebahagiaan, trauma kehilangan anak pertama juga membuat saya mengalami kecemasan. Cemas kalau Allah mengambil lagi anak kami.

Setiap hari berinteraksi dengan Nina saya jalani dengan deg-degan. Saya khawatir berlebihan kalau dia sakit. Saya bahkan sempat meninggikan suara pada ibu saya saat saya merasa stres ketika Nina tidak juga mau berhenti menangis. Hal itu saya sesali hingga kini, karena ibu saya pun akhirnya menangis. 

Saya tidak mengatakan pada orang-orang tapi saya membuat jurnal harian untuk Nina. Saya mencatat apa yang terjadi tiap harinya, bahkan berapa cc susu yang ia habiskan dalam sehari. Waktu itu entah karena stres atau karena kurang stimulasi, ASI saya tidak keluar dengan lancar sehingga Nina harus saya bantu dengan sufor. 

Saya tidak mengatakan pada orang-orang bahwa saya membuat jurnal dan mengucapkan alhamdulillah saat jurnal itu mencapai hari ke 114 (atau 104, saya lupa tepatnya). Mengapa harus 114 hari? Karena anak sulung saya meninggal saat usianya mencapai 114 hari. Saya ketakutan adiknya akan berumur sama dengannya - entah mengapa ketakutan saya membuat saya berpikir demikian. Sesungguhnya bukankah kekhawatiran saya tidak masuk akal, kalau dipikirkan sekarang. Tapi namanya juga orang dengan gangguan mental health. 

Sejak Nina berhasil melewati 114 harinya, saya mulai bisa bernapas lega. Pelan-pelan berusaha menikmati perasaan bahagia bisa menjadi ibu lagi. 

Menuliskan pengalaman ini di Kompasiana, saya jadi teringat masa-masa saya menulis jurnal Nina di buku tebal, sambil sesekali menangis karena kecemasan saya yang berlebihan. 

Sekarang saya dapat berpikir dengan jernih memikirkan masa-masa kesedihan itu. Apa yang bisa membuat saya berhasil melewatinya, selain terapi menulis yang saya lakukan, adalah juga dukungan dari orang-orang terkasih di sekeliling saya. Orang tua, mertua, dan tentu saja suami. 

Waktu menyembuhkan rasa sakit, tapi tidak membuat lupa. Kenangan tentang si sulung tetap terpatri di dalam jiwa. Apalagi jika orang-orang mengobrol dan bertanya ... jika Naufal masih hidup, tentu ia sudah kuliah sekarang, ya...? Ya, saya mengangguk dengan senang, membayangkan ... namun kesedihan yang tak terlukiskan juga muncul perlahan dari masa silam.

Selamat hari kesehatan mental sedunia, semoga kita semua selalu diberikan kesehatan raga maupun jiwa, aamiin.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun