Alhamdulillah saat mendekati HPL, suami saya minta cuti dan dua hari setelah ia sampai di Kota Malang, saya mulai kontraksi. Melahirkan anak kedua alhamdulillah tidak sesusah kakaknya dulu. Nina lahir dengan selamat dan sehat walau sempat terlilit tali pusat.Â
Kelahiran anak kedua tentu saja membuat saya dan suami bahagia, namun ternyata selain kebahagiaan, trauma kehilangan anak pertama juga membuat saya mengalami kecemasan. Cemas kalau Allah mengambil lagi anak kami.
Setiap hari berinteraksi dengan Nina saya jalani dengan deg-degan. Saya khawatir berlebihan kalau dia sakit. Saya bahkan sempat meninggikan suara pada ibu saya saat saya merasa stres ketika Nina tidak juga mau berhenti menangis. Hal itu saya sesali hingga kini, karena ibu saya pun akhirnya menangis.Â
Saya tidak mengatakan pada orang-orang tapi saya membuat jurnal harian untuk Nina. Saya mencatat apa yang terjadi tiap harinya, bahkan berapa cc susu yang ia habiskan dalam sehari. Waktu itu entah karena stres atau karena kurang stimulasi, ASI saya tidak keluar dengan lancar sehingga Nina harus saya bantu dengan sufor.Â
Saya tidak mengatakan pada orang-orang bahwa saya membuat jurnal dan mengucapkan alhamdulillah saat jurnal itu mencapai hari ke 114 (atau 104, saya lupa tepatnya). Mengapa harus 114 hari? Karena anak sulung saya meninggal saat usianya mencapai 114 hari. Saya ketakutan adiknya akan berumur sama dengannya - entah mengapa ketakutan saya membuat saya berpikir demikian. Sesungguhnya bukankah kekhawatiran saya tidak masuk akal, kalau dipikirkan sekarang. Tapi namanya juga orang dengan gangguan mental health.Â
Sejak Nina berhasil melewati 114 harinya, saya mulai bisa bernapas lega. Pelan-pelan berusaha menikmati perasaan bahagia bisa menjadi ibu lagi.Â
Menuliskan pengalaman ini di Kompasiana, saya jadi teringat masa-masa saya menulis jurnal Nina di buku tebal, sambil sesekali menangis karena kecemasan saya yang berlebihan.Â
Sekarang saya dapat berpikir dengan jernih memikirkan masa-masa kesedihan itu. Apa yang bisa membuat saya berhasil melewatinya, selain terapi menulis yang saya lakukan, adalah juga dukungan dari orang-orang terkasih di sekeliling saya. Orang tua, mertua, dan tentu saja suami.Â
Waktu menyembuhkan rasa sakit, tapi tidak membuat lupa. Kenangan tentang si sulung tetap terpatri di dalam jiwa. Apalagi jika orang-orang mengobrol dan bertanya ... jika Naufal masih hidup, tentu ia sudah kuliah sekarang, ya...? Ya, saya mengangguk dengan senang, membayangkan ... namun kesedihan yang tak terlukiskan juga muncul perlahan dari masa silam.
Selamat hari kesehatan mental sedunia, semoga kita semua selalu diberikan kesehatan raga maupun jiwa, aamiin.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H