Saya sama sekali tidak paham mengenai spektrum gangguan jiwa. Menurut saya hal semacam kejiwaan adalah hal yang sangat susah ditelusuri dan diselami. Barangkali hanya yang tahu ilmunya saja yang mampu menelusuri dan menyelaminya.Â
Namun sejak dulu memelajari manusia adalah sesuatu yang menurut saya mengasyikkan. Itulah mengapa saat mendaftar perguruan tinggi puluhan tahun lalu, saya juga menuliskan Fakultas Psikologi sebagai salah satu pilihan saya, walau akhirnya saya diterima sebagai mahasiswi Fakultas Perikanan. Kata Allah, level saya cukup memelajari ikan saja, tidak usah manusia. Begitu barangkali.Â
Meskipun tidak memahami mengenai gangguan jiwa, namun setelah saya pikirkan kembali jalan hidup saya, ada masa-masa di mana saat itu jiwa saya terganggu, yaitu saat saya kehilangan anak sulung saya, dan lalu mengandung serta melahirkan anak kedua.
Kehilangan putra tercinta pastilah memberikan guncangan besar dalam hidup saya dan suami. Saat itu bukan hanya kesedihan, namun juga rasa bersalah, rasa terpojok, rasa tak berdaya, semua bercampur aduk.Â
Tidak ada tempat curhat. Hari pertama meninggalnya putra saya, saya hanya bisa bengong dan merasa hampa. Berjalan menuju pemakaman seperti melayang. Dan saya tidak bisa menangis lepas. Justru saat ibu saya menangis keras, saya menenangkan beliau.Â
Baru pada hari-hari selanjutnya, saya bisa menangis diam-diam, lalu curhat pada suami saya. Lalu kemudian saya sempat sakit gejala DBD dan dirawat di rumah sakit. Saat itu rambut saya rontok parah, entah sebab demam, entah karena stres berkepanjangan.Â
Waktu kemudian menyembuhkan rasa sakit, walau tidak membuat saya lupa.
Allah memberi gantinya tak lama kemudian. Saya hamil anak kedua.
Trauma kehilangan anak pertama membuat saya dan suami melakukan berbagai hal pencegahan yang sebenarnya tak perlu, seperti melahirkan di Kota Malang, di mana kedua orang tua saya tinggal. Saya dan suami ingin saya melahirkan dalam situasi yang nyaman di dekat orang-orang terkasih, walau dengan konsekuensi terancam tidak ditunggui suami sebab ia tak bisa seenaknya minta cuti. Kalau saya waktu itu memanfaatkan cuti melahirkan 3 bulan.
Kami juga mencari dokter perempuan yang membuat saya nyaman. Kebetulan adik ipar salah satu teman di kantor, berprofesi sebagai dokter kandungan di Kota Malang. Perkenalan pertama sudah membuat saya sreg, sehingga beliaulah yang kami pilih untuk membantu kelahiran anak kedua kami.