"Assalamualaikum bunda ..."
Sebuah sapaan mampir dari sebuah nomor whatsapp. Nomor teman yang bisa dibilang sahabatku.
Dulu kami pernah serumah waktu dia masih tinggal di Makassar. Teman serumah dan sekantor juga dan satu angkatan masuk kerja. Teman dari lajang-lah.
Kutunggu ia mengetik lagi di bawah sapaannya yang tak biasa.
Rupanya beneran sahabatku yang chat, karena berikutnya dia bahas tentang paket buku yang ia beli dari aku.
"Waalaikumsalam wr wb. Kirain wa mu dihack, tumben nyebut bunda," balasku.
Sumpah, berasa aneh dia manggil bunda. Padahal aku biasa dipanggil bund juga sama guru-guru anakku di SD.
Tapi kalau panggilan itu dari sahabatku yang ini, terasa beda. Janggal.
Sahabatku ngakak waktu aku bilang merasa aneh. Kan sudah biasa dipanggil 'bund', ucapnya tatkala aku mengakui sebagai wali murid sering dipanggil bund.
"Hihihi, kan beda, Say," ucapku. "Aku kalau ngomong sama kamu berasa masih lajang 25 tahun!"
Yaaa...itulah sebabnya aku merasa aneh dengan sebutan bund dari sahabatku. Kami bersama2 sejak usia dua puluhan awal. Walau usia tersebut bukanlah usia remaja yang penuh keusilan dan kekonyolan, kenyataannya aku dan sahabatku itu punya daftar kekonyolan yang kami lakukan bersama, dulu.
Walaupun kami kemudian sama-sama menikah, lalu punya anak, lalu berpisah karena dia pindah dan lalu jarang berkomunikasi. Artinya ya aku sadar kalau kami sama-sama menua dan wajar dipanggil band-bund.
Tapi ... rasa tidak rela dipanggil bund olehnya itu, karena kenangan yang tertanam di kepalaku, adalah masa muda kami yang penuh keceriaan. Seolah masa itu beku dan mencair kembali setiap kami bercengkrama melalui obrolan di whatsapp.
Aku jadi memikirkan memori masa muda kami, dan sahabatku masih terus menggodaku dengan panggilan bund-nya yang menyebalkan.
Apakah dia yang legowo dengan kenyataan, atau aku yang tidak rela kehilangan masa muda?
Kutarik napas panjang dan mengetikkan panggilan bund juga untuknya. Dia ngakak-ngakak.
Walau berat, memang kenyataan sepahit apapun harus diterima dengan lapang dada. Akupun berusaha menerima panggilan bund dari sahabat kesayangan.
Masa muda boleh pergi, tapi ia tak akan meninggalkan ruang dalam hati yang dipenuhi memori tentangnya.
"See you later, bund. Kapan-kapan kita chat lagi, bye say," ketikku di WA.
Obrolan dua sahabat lama telah diakhiri. Masa muda yang baru saja mencair dalam kenangan, mulai membeku. Mengeras oleh realita saat ini.
Realita di mana bund-bund manis ini harus siap angkat lengan baju karena cucian piring numpuk perlu segera diatasi, setelah itu harus siap membuat menu seminggu bebas minyak goreng karena harga lagi mahal, dan setelah itu sekrol-sekrol video tiktok rang-orang di medsos, nonton drakor, berjibaku memeriksa tugas sekolah anak, dan serentetan aktivitas khas emak-emak lainnya.
Hmmm, realitanya memang sudah emak-emak. Gitu kok nggak mau dipanggil bund. Hahaha. Salam sehat semuanya.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H