Walaupun kami kemudian sama-sama menikah, lalu punya anak, lalu berpisah karena dia pindah dan lalu jarang berkomunikasi. Artinya ya aku sadar kalau kami sama-sama menua dan wajar dipanggil band-bund.
Tapi ... rasa tidak rela dipanggil bund olehnya itu, karena kenangan yang tertanam di kepalaku, adalah masa muda kami yang penuh keceriaan. Seolah masa itu beku dan mencair kembali setiap kami bercengkrama melalui obrolan di whatsapp.
Aku jadi memikirkan memori masa muda kami, dan sahabatku masih terus menggodaku dengan panggilan bund-nya yang menyebalkan.
Apakah dia yang legowo dengan kenyataan, atau aku yang tidak rela kehilangan masa muda?
Kutarik napas panjang dan mengetikkan panggilan bund juga untuknya. Dia ngakak-ngakak.
Walau berat, memang kenyataan sepahit apapun harus diterima dengan lapang dada. Akupun berusaha menerima panggilan bund dari sahabat kesayangan.
Masa muda boleh pergi, tapi ia tak akan meninggalkan ruang dalam hati yang dipenuhi memori tentangnya.
"See you later, bund. Kapan-kapan kita chat lagi, bye say," ketikku di WA.
Obrolan dua sahabat lama telah diakhiri. Masa muda yang baru saja mencair dalam kenangan, mulai membeku. Mengeras oleh realita saat ini.
Realita di mana bund-bund manis ini harus siap angkat lengan baju karena cucian piring numpuk perlu segera diatasi, setelah itu harus siap membuat menu seminggu bebas minyak goreng karena harga lagi mahal, dan setelah itu sekrol-sekrol video tiktok rang-orang di medsos, nonton drakor, berjibaku memeriksa tugas sekolah anak, dan serentetan aktivitas khas emak-emak lainnya.
Hmmm, realitanya memang sudah emak-emak. Gitu kok nggak mau dipanggil bund. Hahaha. Salam sehat semuanya.**