Setelah saya menyuruh ke sekian kali (seperti biasa setiap malam), Emir baru mengatur buku ke dalam tasnya. Ia mengatur buku sambil mengajak saya ngobrol, lalu teringat bahwa buku PAInya harus disampul warna hijau. Saya membantunya menyampul buku dan menamai buku tersebut.
"Bolpoinku sudah hampir habis tintanya," ucap Emir.
Aku menghela napas, melirik jam dinding.
"Mama belum beli bolpoin dan di tas mama juga tidak ada bolpoin nganggur. Kamu kalau butuh apa-apa itu bilangnya tadi sore. Kalau sudah malam begini, siapa yang mau ke toko?" omel saya.
Kucoba menulis namanya di buku yang baru saja kusampul. Memang tintanya sudah tipis menggores kertas.
"Besok kamu bawa uang saja, lalu beli bolpoin di koperasi sekolahmu, ya?" imbuh saya lagi.
"Oke, Ma. Oh, gampang nanti aku sewa bolpoin ke temanku. Ada temanku yang suka mengumpulkan bolpoin yang jatuh tapi tidak tahu siapa pemiliknya, lalu bolpoin-bolpoin itu dia sewakan sebagai bisnis pertamanya," kisah Emir.
"Ha...kenapa tidak dia pinjamkan saja? Lalu berapa dia sewakan?" tanya saya merasa geli campur heran.
"Sejam seribu atau berapa gitu."
Saya tertawa, "Temanmu masih kecil pemikirannya sudah komersial juga ya. Dan dia pintar melihat peluang."