Setelah saya menyuruh ke sekian kali (seperti biasa setiap malam), Emir baru mengatur buku ke dalam tasnya. Ia mengatur buku sambil mengajak saya ngobrol, lalu teringat bahwa buku PAInya harus disampul warna hijau. Saya membantunya menyampul buku dan menamai buku tersebut.
"Bolpoinku sudah hampir habis tintanya," ucap Emir.
Aku menghela napas, melirik jam dinding.
"Mama belum beli bolpoin dan di tas mama juga tidak ada bolpoin nganggur. Kamu kalau butuh apa-apa itu bilangnya tadi sore. Kalau sudah malam begini, siapa yang mau ke toko?" omel saya.
Kucoba menulis namanya di buku yang baru saja kusampul. Memang tintanya sudah tipis menggores kertas.
"Besok kamu bawa uang saja, lalu beli bolpoin di koperasi sekolahmu, ya?" imbuh saya lagi.
"Oke, Ma. Oh, gampang nanti aku sewa bolpoin ke temanku. Ada temanku yang suka mengumpulkan bolpoin yang jatuh tapi tidak tahu siapa pemiliknya, lalu bolpoin-bolpoin itu dia sewakan sebagai bisnis pertamanya," kisah Emir.
"Ha...kenapa tidak dia pinjamkan saja? Lalu berapa dia sewakan?" tanya saya merasa geli campur heran.
"Sejam seribu atau berapa gitu."
Saya tertawa, "Temanmu masih kecil pemikirannya sudah komersial juga ya. Dan dia pintar melihat peluang."
Peluang yang saya maksud itu:
1. Banyak anak-anak ceroboh, lupa bawa bolpoin atau bolpoinnya hilang. Akibatnya secara mendadak dia perlu bolpoin di kelas.
2. Di sisi lain banyak bolpoin tak bertuan yang hilang itu - tergeletak begitu saja di lantai, atau di teras kelas, atau di mana saja. Dan kadang karena penampakan yang sama, tidak ada yang merasa memiliki bolpoin tersebut.
3. Boy alias teman si Emir tadi melihat kedua peluang itu dan mengambil solusi yang menguntungkan dua belah pihak. Temannya untung dapat bolpoin sewa - tidak kena marah guru karena lupa membawa bolpoin, Boy untung dapat tambahan uang saku dari harga sewa.
Keputusan Boy untuk menyewakan bolpoin sebenarnya bisa ia tingkatkan lagi dengan menjual bolpoin buat teman-teman sekelasnya. Ia bisa membeli bolpoin di pasar lalu menjualnya ke teman-temannya dengan mengambil keuntungan seribu rupiah per bolpoin.
Saya pun mencetuskan ide berjualan bolpoin pada Emir.
"Kenapa Boy tidak sekalian jualan bolpoin? Dia bisa beli bolpoin lalu menjualnya kembali pada teman-teman."
"Hmm, aku ingat, Ma. Boy juga menyewakan secara permanen bolpoin hasil nemunya itu."
"Maksudnya sewa permanen? Berarti menjual, dong."
"Iya, semacam itulah."
Saya menggeleng-gelengkan kepala, lalu teringat sesuatu. Jangan sampai saking senengnya nemu bolpoin, Boy lupa mengumumkan dulu kalau ia nemu bolpoin, dan langsung 'mengamankan' si bolpoin menjadi properti sewa. Halah, ((( properti sewa ))).
Jadi saya ingatkan Emir untuk menyampaikan pada Boy: Kalau nemu bolpoin, sebaiknya ditanyakan dulu pada teman-teman yang lain, siapa tahu ada yang punya. Sebelum kemudian 'mengamankan' bolpoin dan menyewakannya pada teman-teman yang lain.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H