Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Tumpukan Baju Seragam di Dalam Lemari, Mau Diapakan?

4 Februari 2022   06:58 Diperbarui: 4 Februari 2022   22:25 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-ibu Dharma Wanita Memakai Seragam Batik (Dokumen DWP BPSILHK Makassar)

Berapa Baju Seragam di Lemari Pakaian Kita?

Perubahan warna seragam satpam kiranya mengulik para admin Kompasiana untuk mengeluarkan topik pilihan baru mengenai baju seragam. Saya sih senang-senang saja karena topik ini termasuk topik umum yang bisa ditulis oleh banyak orang, termasuk saya.

Semua orang pasti pernah memakai seragam. Mulai dari saat sekolah formal TK, SD, SMP, SMA, S1, dan seterusnya. Belum lagi kalau sudah bekerja. Baik di instansi pemerintah maupun instansi swasta, semua memiliki seragam kerja masing-masing.

Seragam kerja di instansi kantor masih dapat beranak pinak menjadi seragam olah raga, seragam koperasi, dan seragam divisi-divisi atau seksi di dalam struktur organisasi kantor.

Seragam yang saya sebut itu juga rutin diperbaharui entah tiap berapa tahun sekali, tergantung kemampuan dana lembaga. Belum lagi kalau tiba-tiba bos gabut dan iseng bagi-bagi seragam entah dalam rangka apa.

Ada nggak bos kayak gitu? Adalaaah ... masak nggak ada?

Oh ya, seragam kantor ini ada pasangannya yaitu seragam organisasi istri pegawai -- di kantor saya tentunya yang saya maksud adalah organisasi Dharma Wanita.

Seragam Dharma Wanita saja contohnya sudah ada beberapa. Seragam Dharma Wanita pusat, seragam olah raga Dharma Wanita pusat, seragam batik, seragam Perwita Wana Kencana dan seragam olah raganya juga (Perwita Wana Kencana adalah organisasi Dharma Wanita khusus Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), masih ditambah seragam Dharma Wanita internal kantor. Sudah berapa ituuu??

Kegetolan manusia khususnya masyarakat Indonesia memakai seragam, kemudian merambah sektor lain selain sektor formal. Faktor pencetusnya tentu saja emak-emak rempong. Mulai dari seragam keluarga pengantin di setiap hajatan mantenan (yang umumnya hanya dipakai sekali, mending kalau masih bisa digunakan pergi kondangan lain waktu); seragam pengajian, seragam arisan, seragam RT, seragam RW, seragam kelurahan, seragam yoga, seragam komunitas ini dan itu.

Bukan sekadar emak-emak, bapak-bapak pun tak mau kalah, maka ada seragam komunitas olah raga dan seragam komunitas ala bapak-bapak lainnya. Seragam tenis, seragam bulutangkis, seragam futsal, dan masih banyak lagi.

Rasa romantis dan kenangan masa lalu membuat manusia Indonesia kasak-kusuk lagi bikin seragam reuni (pada umumnya kaos reuni).

Untuk kaos reuni saja saya sudah mengoleksi kaos reuni SD, SMP, SMA, dan S1. Kaos S1 nya malah ada dua. Untung tidak ada reuni TK dan jenjang pendidikan lainnya.

Kaos-kaos itu umumnya jarang dipakai kembali, teronggok di lapis paling bawah lemari. Bagus kalau belum dilungsurkan ke orang yang biasa minta baju layak pakai ke rumah.

Mau Diapakan Semua Baju Seragam Itu?

Fenomena seragam yang bertumpuk-tumpuk ini sebenarnya menggelikan dan cermin dari sifat manusia yang kontradiktif.

Ia diciptakan berbeda, secara fitrah berbeda satu sama lain. Bahkan manusia kembar juga memiliki perbedaan. Meski secara fitrah berbeda, tapi manusia selalu berusaha menyatakan bahwa mereka sama. Memiliki kesamaan hobi atau pekerjaan atau kegiatan yang ditunjukkan dengan simbol baju seragam.

Lucunya lagi, walau seragam, manusia masih ingin menunjukkan bahwa ia lain dari yang lain. Ini khususnya pada kasus baju seragam yang dibagikan dalam bentuk kain.

Kain yang dibagikan akan dijahitkan dengan model yang unik, dirasa paling keren dan menonjol lebih dari temannya di satu komunitas yang menggagas kain seragam tersebut.

Banyaknya baju seragam koleksi dari sekian tahun bekerja dan berkomunitas dalam berbagai kegiatan menimbulkan masalah lain dalam hidup. Hampir setengah isi lemari dipenuhi baju seragam ini-itu.

Sebagian mungkin kainnya enak dipakai sehingga masih dikenakan sehari-hari. Sebagian lagi nyaris tak pernah disentuh lagi karena tidak suka modelnya, kainnya terlalu tipis atau terlalu tebal, atau alasan lain seperti sudah kekecilan.

Mau diapakan baju-baju itu?

Bagi yang rasional tidak akan banyak berpikir sebelum memutuskan menyumbangkan sebagian seragam yang masih layak pakai ke orang yang lebih membutuhkan. Namun bagi mereka pemuja romantisme pasti akan sedikit overthinking sebelum melakukan hal yang sama.

"Kaos reuniku ini kan kaos kenangan dari almamater yang kucintai. Tempat kenangan di mana aku dulu kenal A, B, C..."

Lah ... malah keinget mantan-mantannya selama sekolah, hahaha. Dah, sumbangin aja biar gak bikin galau dan gagal move on.

Selain sisi romantisme, ada jenis overthinking lain yang mencegah keinginan untuk memberikan kaos atau seragam lainnya ke orang yang lebih membutuhkan.

"Baju seragam ini kan ada lambang-lambangnya. Bagaimana kalau disalahgunakan oknum yang tidak bertanggungjawab?"

Kalau kekhawatirannya seperti itu mungkin bisa terjadi pada seragam kantor berupa pakaian dinas harian yang sarat lambang instansi. Solusinya mudah saja, lambang-lambangnya bisa dilepas terlebih dahulu, baru diberikan orang.

Memang kekhawatiran seperti itu beralasan sih, terutama misalnya kalau seragam kepolisian -- tentu runyam kalau digunakan oknum untuk menipu sana sini.

Sebenarnya Senang Tidak Pakai Baju Seragam?

Kalau ditanya apakah saya senang pakai baju seragam, jawabannya tergantung. Misalnya seragam dinas untuk bekerja, senang tak senang tentu harus dipakai.

Untuk bekerja saya biasa memakai pakaian seragam dinas PDH pada hari Senin dan Selasa, blus putih dan bawahan gelap di hari Rabu dan Kamis, serta baju batik atau baju olah raga di hari Jumat. Pakai baju seragam ada manfaatnya, yaitu tidak pusing pilih baju untuk ke kantor.

Baju seragam lainnya ya kadang senang juga kalau dipakai untuk kegiatan bersama komunitas, karena mengurangi tingkat jor-joran anggota misal mau pakai baju yang wah atau wih ... tapi orang seperti itu jarang di lingkungan saya sih. Kalaupun ada, berarti saya yang nggak perhatian dengan tingkahnya.

Baju seragam juga mengurangi tingkat kebingungan memilih baju di lemari. Bingung karena sedikit pilihan. Saya relatif jarang beli baju soalnya.

Tapi kadang muncul perasaan tak senang kalau lihat isi lemari sebagian besar baju seragam yang sebagian kurang suka baik model maupun warnanya.

Kalau saya sendiri solusinya nggak papa diserahkan ke orang lain, atau ... dipakai jadi ...

"Adeeek! Tolong ambilkan lap di bawah rak dapur! Ada tumpahan air di lantai mau dilap!" teriakan anak sulung saya mengagetkan saya yang sedang menyusun artikel untuk Kompasiana.

Saya bermaksud mematikan laptop saat melihat anak bungsu saya mengelap tumpahan air, menggunakan lap dari salah satu baju seragam bekas yang pernah saya miliki.

Nah, kalau tega ... Anda juga bisa.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun