Kata orang, usia 25 merupakan masa transisi menuju dewasa. Ya, saya setuju dengan pernyataan tersebut.
Pada usia 25, dengan asumsi jenjang pendidikan ditempuh normal, maka seseorang minimal sudah lulus S1. Kita asumsikan lulus SMA usia 18 tahun, lalu kuliah S1 selama 4 tahun sehingga di usia 22 gelar sarjana sudah di tangan. Apes-apesnya umur 23 lah sudah sarjana.
Apabila saat umur 23 tahun itu langsung digunakan untuk mencari pekerjaan, maka pada usia 25 insyaa Allah si young adult kita ada pada posisi muda, bersemangat, dan produktif dalam berkarya.
Perjalanan Menuju Usia 25
Saya lulus kuliah S1 pada usia 23, setelah menjalani masa studi selama 5 tahun. Setelah lulus, saya mulai mengirimkan surat lamaran kerja. Saya tidak membatasi mengirim lamaran hanya spesifik pada bidang yang saya pelajari saat kuliah, malahan lebih banyak saya menyasar lowongan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi S1 semua jurusan.
Saya mengirim lamaran tak kenal lelah, hingga 70 surat lamaran (ingat banget jumlahnya karena semua saya catat di buku diary). Ada beberapa yang sampai wawancara, namun belum ada yang menerima saya.Â
Waktu itu saya memutuskan lebih baik saya kuliah S2 saja jika tak juga mendapatkan panggilan kerja. Kebetulan kakak sulung menyanggupi akan membiayai studi S2, jika saya memang berniat meneruskan sekolah.
Tak dinyana, saat niat kuliah S2 sudah bulat, ada panggilan tes dari Dephutbun (Departemen Kehutanan dan Perkebunan) -- sekarang KemenLHK. Tesnya waktu itu bertahap dan tiap tahapnya ada masa tenggang. Mulai dari tes berkas, tes tertulis, psikotes, tes pantukir (penentuan terakhir), dan tes kesehatan.
Singkat cerita, saya lolos di semua tes dan di akhir bulan Juni 1999 mendapatkan surat penempatan kerja pertama di sebuah UPT (Unit Pelaksana Teknis) Litbang di Ujung Pandang -- sekarang Makassar. Pada surat itu tertulis saya harus melapor di calon kantor saya tepat 1 Juli 1999.
Dengan semangat seorang calon PNS naif dan idealis, saya pun berangkat dari Malang tanggal 29 Juni 1999 dan sampai di Ujung Pandang 30 Juni 1999.Â
Perjalanan makan waktu 24 jam karena waktu itu saya naik kapal laut "Lambelu" dari pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya. Esok paginya 1 Juli 1999 saya sudah rapi menghadap Kepala Tata Usaha di kantor pertama saya. Saat itu usia saya jelang 24 tahun.
Usia 25, Ngapain?
Saat saya menginjak usia 25, saya ada pada posisi muda, bersemangat, dan (ingin) produktif dalam berkarya, serta di sisi lain saya juga seorang pemimpi berat. Hahaha, saya suka merencanakan sesuatu yang hebat, namun kadang niat kurang kuat untuk mewujudkannya. Jangan ditiru, ya. Â
Merencanakan sesuatu yang hebat seperti apa? Hmm, terus terang sebenarnya saya bisa mengingat rencana yang hebat itu, setelah membongkar buku-buku diary saya zaman lawas, dan menemukan catatan heroik tertanggal sehari sebelum ultah ke-25 saya.
Saya salin saja di sini si rencana hebat itu:
I must do my plan to create an article or a book, named  '25 years old facing the world'. Atau bisa juga 'Dua Puluh Lima Tahun Mengarungi hidup, An autobiography of ordinary girl.' Atau berjudul: Giving Meaning to age 25 (Memberi Arti Pada Usia 25) -- isinya seperti diary day by day positive activities selama satu tahun saat berusia 25 tahun.
Saya juga menulis di diary tersebut: I should more serious facing the world.
Dari catatan itu, kesimpulannya pada usia 25 saya sudah memiliki pemahaman bahwa usia 25 itu memang sesuatu. Saya merasa harus lebih serius lagi dalam hidup. Saya juga merasa usia 25 itu harus diperingati dengan menulis sebuah buku.
Nah, hebat, kan? Sayangnya tanpa realisasi. Alasannya? Sibuk dengan pekerjaan -- hahaha -- klise, nggak, sih?
Usia 25, Bagaimana Dengan Target Menikah?
Saya tidak pernah menetapkan target harus nikah usia sekian sekian. Hanya saja waktu itu saya berpikiran, karena sudah memiliki pekerjaan, maka saya akan menikah saat menemukan orang yang tepat.
Saya tidak perlu nikah harus pas di usia 25, dan orangtua saya pun tidak pernah mendesak. Paling-paling mama saya menggodai dengan pertanyaan: sudah punya pacar, belum? Karena beliau yang dari sejak dini mengamanatkan sebaiknya pacaran itu setelah kerja Â
Usia 25, posisi saya sudah punya pacar -- tapi kemudian saya akhirnya menikah di usia 27 tahun 3 bulan -- bukan dengan pacar saya saat usia 25 itu. Jodoh memang hanya bisa kita ikhtiarkan, namun takdir tetap Tuhan yang tentukan.
Nasihat Buat Kalian Yang Belum 25
Sebagai orang yang pernah mengalami dan telah melewati indahnya usia 25, saya kira bolehlah saya berbagi nasihat untuk mereka yang belum 25 atau yang tengah menginjak usia pas 25.
Buat Yang Belum 25 dan belum punya pekerjaan:
Agar di usia 25 kamu sudah mapan -- dalam artian punya pekerjaan dan menghasilkan uang yang layak dengan pekerjaanmu itu, maka:
1. Peliharalah Hobi Yang Menghasilkan Uang
Dengan memelihara hobi yang menghasilkan uang, kalaupun di usia 25 kamu tidak diterima kerja di mana-mana, kamu dapat mulai memikirkan opsi berwiraswasta dengan mengembangkan hobi yang kamu tekuni. Menjadi penulis, penjahit, pemilik toko bunga, pemilik kedai makanan, dll -- adalah pekerjaan yang bisa bermula dari sekadar hobi.
Seandainya pun kamu sudah diterima bekerja di sebuah instansi pemerintah atau perusahaan, saran saya jangan berhenti mengembangkan hobi karena dapat menjadi alternatif second job yang menambah income.
Satu hal yang sedikit saya sesali di kemudian hari adalah berhenti menjalankan hobi setelah memiliki pekerjaan. Â Hobi saya nulis dan sudah cukup menghasilkan uang waktu itu, tapi setelah mendapatkan pekerjaan, saya malah vakum. Jika hobi nulis itu saya pelihara -- mungkin saya akan mengalami pencapaian-pencapaian yang tidak pernah saya bayangkan.
2. Ikutlah Organisasi (Boleh di Kampus atau di Lingkungan Sekitar) dan Pelihara Hubungan Baik dengan Pengurus Organisasi Tersebut
Saya dulu ikut organisasi KOPMA (Koperasi Mahasiswa) lini wirausaha. Saya mendapatkan banyak pelajaran kewirausahaan yang berharga di organisasi tersebut. Sayangnya setelah sibuk mengurus skripsi dan kelulusan, saya kemudian berhenti dan tidak membina hubungan dengan teman-teman organisasi.
Padahal kolega-kolega di organisasi tersebut merupakan aset berharga yang suatu saat dapat kita hubungi jika kita membutuhkan pekerjaan. Kalaupun tidak bisa mendapat pekerjaan secara langsung dari eks kolega kita, paling tidak kita bisa mendapatkan info lowongan kerja yang mereka ketahui.
Buat Yang Sekarang Usia 25
Jika belum bekerja, bisa jadi sangat tertekan karena orang di sekitar pasti sering bertanya ini itu tentang status 'pengangguran' yang disandang. Sabar ... kamu hanya perlu sabar dan tidak berputus asa.Â
Saya mendapatkan pekerjaan setelah mengirimkan 70 surat lamaran. Kalau waktu itu saya berhenti dan putus asa pada surat yang ke-69, saya nggak akan tahu bahwa saya akan mendapat pekerjaan di surat ke-70, bukan? Jadi, tetap berusaha adalah jalan terbaik.
Jika belum bekerja, kamu juga harus lebih rajin buka mata buka telinga mencari informasi lowongan kerja. Kamu bahkan boleh menurunkan standar, sebagai batu loncatan.Â
Misalnya selama ini selalu melamar pekerjaan sebagai leader, tidak ada salahnya melamar sebagai staf dulu. Toh, sebagai staf nantinya kamu punya kesempatan jadi leader juga jika menunjukkan kinerja optimal.
Jika sudah bekerja, nikmati hasil pekerjaanmu untuk menyenangkan dirimu. Self-love. Kamu mungkin harus membiayai adikmu, orangtuamu, atau harus menabung untuk biaya pernikahan -- Â ya, itu penting juga - tapi kamu tidak boleh mencabut hakmu sendiri untuk menikmati hasil kerjamu karena semua alasan tadi. Kamu tetap dapat menyisihkan sebagian gaji untuk menyenangkan diri sendiri.
Self-love ala saya bisa berupa memborong buku bacaan di Gramedia, melakukan perawatan full-body di salon ternama, travelling ke tempat-tempat indah yang diinginkan, atau bergabung dengan komunitas tertentu untuk mengembangkan diri.
Saya ingat dulu di seputaran usia 25 saya sangat ingin bergabung dengan klub menembak alias Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia), tapi tak terealisasi gara-gara nggak ada teman.Â
Padahal kalau saya sedikit lebih berani, tentunya saya bisa melakukannya sendiri. Saya rasanya kurang punya nyali. Yang sempat saya realisasikan hanya keinginan belajar bahasa asing (waktu itu kursus bahasa Inggris dan bahasa Jepang) -- walau bahasa Jepangnya lupa semua gara-gara nggak pernah dilatih dan dipraktikkan.
Jadi, lakukan apa yang kamu mau, senang-senangkan dirimu dengan penghasilan yang kauperoleh dari tetes keringatmu sendiri. Karena kalau sudah nikah, mungkin akan lebih banyak yang harus ditahan demi pertahanan dan keamanan keluarga, hahaha.
Bagaimana dengan target menikah di usia 25?
Halah.Â
Menikah jangan ditarget-target dan nggak harus cepat-cepat. Menikahlah jika sudah bertemu dengan orang yang tepat. Yang saat melihatnya, hatimu 'krenteg' dan jiwamu terpikat. Tentunya tetap dibarengi dengan pertimbangan yang cermat. Jangan hanya karena bucin atau karena tidak mau dibilang usiamu sudah telat.Â
Sepakat?
Jadi, tetaplah semangat dan rayakan usia 25-mu dengan gembira. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H