Pada tanggal 7 April 2021, saya mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh P3SEKPI -- Bogor (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim) melalui aplikasi zoom. Kegiatan tersebut bertajuk "Kegiatan Pelibatan Publik (Engagement Activity) Penguatan Perhutanan Sosial: Menghubungkan Hasil Riset dengan Kebijakan, Petani dan Pasar" dan diselenggarakan baik secara offline maupun online. Secara offline kegiatan dilaksanakan di Lampung, yang merupakan salah satu lokasi penelitian dari P3SEKPI.
Kegiatan ini merupakan ujung dari rangkaian kegiatan penelitian Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia (2016-2021). Penelitian tersebut merupakan kegiatan kerja sama Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR). Pada kegiatan ini, dipresentasikan semua temuan/hasil-hasil penelitian yang diperoleh sepanjang lima tahun kerja sama penelitian.
Lokasi penelitian adalah lokasi kegiatan Perhutanan Sosial (PS) yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama skema HTR (Hutan Tanaman Rakyat) dan Hutan Rakyat. Salah satu lokasi kegiatan penelitian dengan lokus hutan rakyat adalah di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Pada lokasi ini, operasional kegiatan penelitian dilakukan oleh Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar (BP2LHK Makassar) yang adalah kantor saya.
Pada acara yang saya ikuti melalui zoom tersebut hadir pula salah satu peneliti dari kantor saya secara offline sebagai narasumber, yaitu ibu Nur Hayati. Beliau hadir membawakan salah satu hasil penelitian dari Kabupaten Bulukumba, yaitu mengenai inisiasi Perdes (Peraturan Desa).
Jadi pada intinya, secara garis besar, kegiatan penelitian kerja sama ini berfokus pada bagaimana memperkuat petani perhutanan sosial untuk dapat menghasilkan kayu yang layak jual secara komersial. Hal ini didasari pada fakta kondisi masyarakat petani hutan yang sering menanam kayu di areal hutan rakyat atau kebunnya tanpa pertimbangan yang matang. Seringnya petani menanam tanaman setelah melihat ada orang lain yang berhasil, tanpa melihat apakah lahannya cocok, apakah ia memiliki keterampilan untuk mengusahakan tanaman tersebut, dan apakah ia sudah memiliki rencana masa depan hendak kemana hasil kayu kelak akan dijual.
Akibat menanam tanaman kayu dengan modus ikut-ikutan temannya ini, bisa jadi hasil yang diperoleh tidak sesuai ekspektasinya. Tanaman kayu tumbuh kurus dan bengkok karena tidak dipelihara dengan tepat. Ataupun setelah dijual, harganya murah dan petani mengalami kerugian. Hal-hal seperti ini yang ingin diantisipasi oleh penelitian Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia.
Fokus dari penelitian sendiri ada beberapa yaitu:
1. Dimensi Sosial-Ekonomi Petani Kayu
2. Pelatihan Master TreeGrower (MTG)
3. Regulasi dan Revitalisasi Industri Kayu Rakyat
4. SVLK dalam Integrasi Vertikal Kayu Rakyat ke Pasar Global
5. Peraturan Desa dan Potensinya dalam Mendukung Penguatan Tata Kelola Kayu Rakyat
Jadi, penelitian Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia secara komprehensif memperkuat petani hutan dimulai dari melihat kondisi real mereka seperti apa, lalu berusaha meningkatkan kapasitas mereka melalui pelatihan MTG, mengupas dan melakukan inovasi pada regulasi dan revitalisasi industri kayu rakyat, memampukan kayu rakyat untuk dapat bersaing di pasar global melalui SVLK serta memperkuat aspek kebijakan khususnya kebijakan di tingkat tapak.
Kelima fokus penelitian yang telah saya jelaskan di atas dilaksanakan di setiap lokasi penelitian di seluruh Indonesia baik di Lampung, Gorontalo, Pati, Gunungkidul, Bulukumba, dll. Tapi ada satu fokus yang keberhasilannya cukup membanggakan khususnya di lokasi Bulukumba, yaitu fokus Peraturan Desa dan Potensinya.
Nah, fokus kebijakan inilah yang menyebabkan teman saya bu Nur Hayati jauh-jauh diundang dari Makassar ke Lampung untuk sharing mengenai keberhasilan yang telah dicapai oleh Balai Litbang LHK Makassar terkait inisiasi Perdes di Desa Malleleng, Kabupaten Bulukumba.
Awalnya karena perubahan kebijakan di tingkat daerah, kewenangan kabupaten untuk mengelola hutan di daerahnya dialihkan kepada provinsi. Hal ini menyebabkan petani hutan mengalami sedikit kebingungan hendak bertanya kemana terkait pemeliharaan lahan hutannya. Berbagai program yang dulunya dihandel oleh Dinas Kehutanan Kabupaten mengalami stagnasi, misalnya program bibit gratis, pendampingan petani, dan lain-lain. Pada masa transisi ini, petani hutan harus berjuang sendiri.
Tim peneliti ACIAR dari Balai Litbang LHK Makassar khususnya tim aspek kebijakan yang dikomandani oleh Ibu Nur Hayati kemudian berusaha melakukan pendampingan pada masyarakat petani hutan. Solusi yang kemudian dilontarkan saat itu adalah upaya penyusunan Perdes Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Malleleng. Setelah dilakukan berbagai diskusi dan musyawarah baik dengan pemerintah kabupaten, pemerintah desa, maupun petani di Desa Malleleng, akhirnya dimulailah rangkaian panjang inisiasi dan pendampingan penyusunan Peraturan Desa yang diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat desa khususnya petani hutan rakyat di Desa Malleleng.
Beberapa isi Perdes yang penting antara lain adalah penguatan kelompok tani, pembuatan kebun bibit desa, peningkatan partisipasi masyarakat dalam menanam pohon, pemberdayaan ekonomi lokal, dan masih banyak lagi. Semua isi Perdes merupakan usulan dari masyarakat Desa Malelleng sendiri sehingga substansinya benar-benar berasal dari akar rumput (bottom-up) dan bukan karangan dari tim peneliti. Hal ini menurut Bu Nur Hayati, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Perdes Pengelolaan Hutan Rakyat kemudian berhasil disahkan dan sekarang ini sedang coba diimplementasikan di Desa Malelleng.
Bu Nur Hayati menjelaskan bahwa langkah-langkah inisiasi Perdes Pengelolaan Hutan Rakyat yang telah dilakukan di Desa Malelleng, dapat dilakukan di desa-desa lainnya. Faktor paling penting yang harus diingat adalah sebagai tim peneliti, kita harus memahami permasalahan yang ada di masyarakat itu apa. Itulah yang harus kita gali dari berbagai pertemuan, dan biarkan mereka sendiri yang mendiskusikan solusi yang paling tepat sesuai dengan kearifan lokal yang berlaku di daerah tersebut. Hal ini kemudian dapat diterjemahkan menjadi bahasa hukum berupa pasal-pasal di Perdes. Selanjutnya tugas tim peneliti sebagai pendamping hanya mengarahkan saja, namun aktor utama dari inisiasi hingga implementasi Perdes nantinya adalah masyarakat desa/petani hutan bersama pemerintah desa yang bersangkutan. Dengan adanya Perdes Pengelolaan Hutan Rakyat diharapkan masyarakat desa khususnya petani hutan rakyat dapat menjadi semakin mandiri dalam melakukan pengelolaan hutan rakyatnya.**
![poster-607031d28ede485d9c248aa8.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/09/poster-607031d28ede485d9c248aa8.jpg?t=o&v=770)
#P3SEKPI #KementerianLHK #ACIAR #CBCF IndonesiaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI