Pendidikan dan pelatihannya adalah tentang pengolahan ikan hasil tangkapan, higienitas lingkungan sehingga bisa menarik sebagai daerah wisata pesisir, membuat produk makanan dengan disain kemasan yang menarik, sehingga bisa menjadi ciri khas oleh-oleh wisata khas daerah pesisir tersebut.Â
Namun ia juga menceritakan tentang ia pernah menjumpai kondisi di mana di pulau di Maluku dengan hasil ikannya yang melimpah, namun nelayan tak dapat menjual ikannya tersebut karena tidak ada pembelinya, karena penduduk di pulau itu sebagian besar nelayan yang juga memperoleh banyak ikan.Â
Lebih mirisnya lagi akhirnya mereka lebih memilih tidak pergi  melaut namun malah berternak sapi, karena dianggapnya harga jual sapi lebih mahal dari ikan dan kerap laku dijual terutama bila ada acara adat atau hajatan.
Saat kisah bu Violetta ini saya sampaikan kepada bu Irene, teman saya  yang juga dari Maluku, kebetulan bu Iren pun dulu tinggal di pesisir. Ia pun membenarkan dan keadaan seperti itu sudah lama ada.Â
Kadang hasil tangkapan nelayan bisa dijual namun harganya murah, kadang juga dibuat ikan asin yang nantinya akan bisa dimakan pada saat cuaca ekstrim saat  tidak bisa pergi melaut.Â
Sepertinya ada rantai distribusi hasil tangkapan laut yang putus di daerah tersebut hingga ikan tidak bisa dijual. Padahal banyak daerah lainnya yang justru butuh pangan ikan. Mungkinkah karena tidak ada TPI ataupun tengkulak sehingga hasil tangkapan nelayan banyak terbuang percuma?Â
Bagaimanakah solusinya agar ikan-ikan bisa dijual tetap dalam kondisi segar atau juga tidak selalu berbentuk ikan asin? Bagaimana bisa sejahtera bila kondisi nelayan dibiarkan seperti itu terus?
Wah ternyata masalah nelayan banyak yaa..selain masalah tentang perempuan nelayan juga. Â Terheran-heran saya jadinya. Harapan saya semoga Pemerintah bisa membuat kebijakan yang benar- benar memperhatikan kesejahteraan seluruh nelayan tanpa mengabaikan perempuan nelayan.
***
sumber tulisan: narasumer acara, buku JP95 & film Perempuan Nelayan.