Namun sayangnya, kontribusi perempuan dalam rantai perikanan tersebut kerap kali tidak diakui, karena budaya dan pandangan agama yang patriarkis, yang menganggap bahwa  nelayan adalah laki-laki, melaut hanya dilakukan oleh laki-laki, wong wedok kok miyang "
Karena budaya dan pandangan agama yang patriarkis inilah yang membuat Masnuah bersama 30 perempuan nelayan  mendirikan organisasi Puspita Bahari pada tahun 2005, berdiri di tengah-tengah dominasi laki-laki atas ruang publik dan kekerasan terhadap perempuan nelayan. Tak ada yang menyangka perjuangan Puspita Bahari selama 12 tahun ini mampu menerobos fondasi tersebut, melawan dalil-dalil ulama, melawan stigma dan melawan  pemiskinan perempuan nelayan.Â
Masnuah satu-satunya perempuan nelayan yang hadir ikut Forum Nelayan dalam audiensi dengan Komisi 8 DPRD Jawa Tengah di kantor DPRD pada tangal 4 September. Masnuah meminta kepada dinas-dinas terkait untuk membantu perubahan status pekerjaan perempuan nelayan yang sebelumnya adalah Ibu  Rumah Tangga menjadi Nelayan di KTP. Namun sayang, pemahaman kebijakan yang lemah bias dan tafsir agama yang bias ditemukan dalam pemikiran pejabat publik tesebut. (bisa dilihat di film dokumenter tentang pandangan DPRD tersebut).Â
"Kalau perempuan nelayan diakui sebagai nelayan, maka akses untuk kartu nelayan, asuransi dan program-program yang selama ini diperuntukkan bagi laki-laki nelayan, bisa didapat oleh perempuan nelayan.  Juga menuntut kepada akses perempuan itu sendiri, termasuk hak-hak perlindungan nelayan  karena sebetulnya UU no.7 tahun 2006 tentang Perlindungan Nelayan, Petambak Garam dan Pembudidaya ikan itu sebetulnya belum menyentuh perempuan nelayan dan secara praktek belum diimplementasikan dengan baik, baru di atas kertas saja," kata Masnuah yang diwawancarai mbak Andi pada September 2017.
Wong wedok kok Miyang artinya: orang perempuan kok melaut. Lho, nyatanya memang ada kok dan banyak jumlah perempuan yang pergi melaut, seperti Ibu Zarokah. Ibu Zarokah adalah perempuan nelayan di desa Morodemak.Â
Ia sudah 2,5 tahun pergi melaut bersama suaminya. Karena alasan ekonomilah yang menyebabkan ibu Zarokah melaut, bekerja sebagai ABK (Anak Buah Kapal). Suaminya tidak memakai ABK lain, agar hasil penangkapan ikan hanya masuk ke dalam rumah tangga mereka. Aktifitas sehari-hari ibu Zarokah tak hanya melakukan kegiatan rumah tangga saja, namun ia juga melakukan aktivitas seorang nelayan hingga menjual ikan hasil tangkapan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Persoalan perempuan nelayan ini juga menyoroti petambak udang di Dipasena Lampung. Dipasena merupakan tambak udang terbesar di Asia Tenggara bahkan di dunia. Namun buruknya infrastruktur dan kurangnya perhatian pemerintah berpengaruh pada nasib perempuan nelayan petambak udang di sana. Ada kisah tentang seorang ibu yang kehilangan janinnya saat menuju rumah sakit akibat melewati jalan yang rusak parah.Â
Ada pula kisah  tentang tiadanya listrik di Dipasena membuat nelayan petambak udang selalu berjaga-jaga agar kincir air tidak mati, bila sewaktu-waktu genset habis bahan bakar musti segera diisi bahan bakar.Â
Perempuan nelayan petambak udang seperti Ibu Marsih, Ibu Esra dan banyak perempuan nelayan petambak lainnya merupakan sosok yang kuat juga, selain bekerja melaksanakan tugas rutinitas rumah tangganya, mereka juga hampir seharian penuh melakukan tugas penambak udang dari mulai mengisi air, tebar benur, memberi pakan udang, mengecek kincir air untuk kebutuhan suplai oksigen bagi udang.Â
Namun  mereka belum mendapatkan pengakuan sebagai nelayan di KTP nya, tetap masih tertulis sebagai Ibu Rumah Tangga.  Padahal mereka juga ingin mendapatkan Kartu Nelayan.
KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)  memiliki data bahwa  di Indonesia ada 39 juta perempuan nelayan terlibat alam produksi perikanan, mulai dari pra, produksi, hingga pasca produksi. Perempuan nelayan atau istri para pekerja perikanan merupakan aktor penting yang memastikan terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga nelayan ketika pekerja bekerja di atas kapal perikanan.