[caption caption="Saiful si pendekar biola hitam (Dokpri)"][/caption]
Oleh Indah Noing, no.11
“Sukmaaaa..”
“Bangun nduk !”
Ah suara Mbok Minah mengagetkanku, ternyata ia belum mati, membuatku tersadar bahwa aku baru saja mengalami mimpi buruk lagi, lagi dan lagi, mimpi buruk selalu mengganggu tidurku.
“Sukma, engkau sudah sadar nduk?”
Mbok Minah meraba keningku, kulihat wajahnya pucat dan ada sebuah benjolan besar di keningnya.
“Mbok Minah, apa yang telah terjadi Mbok? Kita ada di mana sekarang?” tanyaku.
“Kita di rumah sakit nduk, tetangga yang semalam membawa kita ke sini. Semalam mereka mendengar suara gaduh dari rumah kita, namun saat mereka masuk ke rumah kita malah menemukan kita dalam posisi pingsan dan rumah berantakan porak poranda,” cerita Mbok Minah.
Ah rupanya aku benar-benar masuk rumah sakit, rupanya aku benar-benar sudah gila sekarang. Perawat yang merawatku malah kubayangkan badannya putus-putus dan usus perutnya terburai-burai keluar. Iiih menjijikan, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi di dalam pikiranku?
“Mbok, kenapa jidatmu benjol besar mbok?” tanyaku.
“Ooohh ini, tadi malam kita berdua mengalami hal buruk Sukma, ada rambut yang menggulungmu dan juga mengikat kaki mbok, ternyata itu adalah rambut ib..” Mbok Minah langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, matanya mendelik memandangku, namun aku pura-pura tak mengerti kata-katanya. Aku sudah tahu jawabnya Mbok, rambut ibuku kan? Ah simbok coba menyembunyikan kenyataan ini.
“Rambut? Rambut siapa Mbok?”
“Ah tidak, lupakan hal itu Sukma, mungkin benjol ini karena jatuh dari tempat tidur saat mbok pingsan. Kurasa engkau mimpi buruk lagi, hingga membuatmu pingsan juga.” Kata-kata Mbok Minah penuh hati-hati sekarang.
Mbok Minah mengambil bubur di atas meja di samping tempat tidurku, lalu disuapinya aku dengan telaten. Ah rasanya tak percaya Mbok Minah yang baik padaku ingin mencelakaiku. Aku memakan tiap suapannya tanpa curiga sedikitpun. Walau bubur itu ada racunnya, aku akan tetap memakannya asal mbok Minah yang menyuapi. Biarlah bila memang aku harus mati di tangannya, toh aku tak punya siapa-siapa lagi.
“Apakah Mbok menyayangiku ?”
“Aah pertanyaan aneh apa itu Sukma? Tentu saja aku menyayangimu, Mbok sudah menganggapmu seperti anakku sendiri, tapii..” Mbok Minah tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa Mbok?”
“Tidak papa Sukma. Ayolah makan bubur ini hingga habis. Kita akan berjalan jauh hari ini, kita akan pergi meninggalkan desa ini,” kata Mbok Minah sambil menyuapi aku.
Aku dan Mbok Minah berjalan kaki meninggalkan rumah sakit. Hari itu masih pagi tapi matahari sudah memancarkan sinarnya dengan begitu terik. Perjalanan ini sepertinya memang jauh, Mbok Minah membawa banyak air minum dan juga membeli kembang tujuh rupa yang biasa untuk menyekar kuburan. Apakah kami akan pergi ke kuburan? Entahlah.
Kuikuti saja langkah kaki Mbok Minah, namun aku merasa ada seseorang yang membuntuti perjalanan kami. Tak tahu itu siapa, bayangannya selalu hilang bersama hembusan angin. Aneh hari ini, matahari panas sekali sinarnya, namun angin pun menderu berhembus.
Aku sudah tak tahu di desa mana kami berada. Aku lelah sekali, ingin rasanya aku tidur di gubuk tengah sawah tadi, namun aku merasa jijik. Gubuk itu bau anyir, anyir darah. Di Pematang sawah juga sering kujumpai tulang belulang, entah tulang hewan atau manusia, aku tak tahu. Namun aku tak pernah menjumpai tulang tengkoraknya. Oh jalanannya pun kini licin, penuh lumut yang basah oleh air. Uups ini bukan air, ini darah. Darah apa ini? Darah siapa?
“Mbok, kita mau ke mana Mbok? Kenapa lewat jalan ini Mbok? Jijik aku, aku juga lelah Mbok.”
“Sabarlah Sukma, kita hampir sampai,” sahut Mbok MInah
Hari sudah malam, bulan purnama sempurna telah menampakkan rupanya, warnanya sekarang merah darah, ahh mirip bulan berdarah yang ada dalam mimpi-mimpi burukku.
“Itu dia rumahnya !” seru Mbok Minah, telunjuknya mengarah ke gubuk di pinggir sungai.
“Setelah kita lewati jembatannya itu, kita akan sampai Sukma,” ujar Mbok Minah.
“Rumah siapa Mbok?”
“Kau akan tahu nanti nduk,” sahut Mbok Minah, matanya bersinar, bibirnya penuh senyum kemenangan. Aneh.
Saat melewati jembatan bamboo itu, aku melihat ke arah sungai di bawahnya. Saat itu pun kulihat air berwarna merah darah, entah karena pantulan cahaya bulan atau memang warna airnya seperti itu. Ada banyak buaya di sana, ahh buaya itu baru memakan sesuatu, mulutnya penuh darah. Aaah kini aku mengerti kenapa banyak kujumpai tulang-tulang sepanjang jalan tadi, kenapa air dan lumut di pematang juga merah darah. Iiiih menjijikan.
“Tok tok tok !” Mbok Minah mengetuk pintu gubuk.
Tiba-tiba pintu langsung terbuka sendiri. Kami masuk ke dalam dan alangkah kagetnya aku melihat kepala binatang bertengger menyeramkan di salah satu sisi tembok di gubuk itu. Ada kepala banteng, rusa, kijang, domba, kambing hutan dan yang lain-lain. Yang paling mengerikan buatku adalah kepala babi hutan yang masih mengucurkan darah, menetes jatuh ke lantai tanah. Bergidik aku dibuatnya.
Melihat tetesan darah babi itu membuat kepalaku pening.
“Bruuk !!” Aku jatuh di lantai tanah.
Bau harum wangi kembang tercium menusuk hidungku. Aaargh tapi aku tak dapat menggerakkan tanganku, ada yang mengikatnya, pun demikian dengan kakiku. Di sekelilingku tertata rapi kembang tuujuh rupa yang dibeli Mbok Minah tadi. Aah maksudnya untuk ini, bukan untuk ke kuburan. Atau jangan-jangan memang benar aku akan dijadikan persembahan?
“Hahaha Minah Minah, engkau benar-benar pintar merawat gadis ini, sungguh elok rupa Sukma, mirip dengan Savitri yang telah kau buang dari pinggir tebing sana. Pasti hatimu sakit ya melihat Sukma setiap hari, seperti pinang dibelah dua rupanya dengan Savitri.” Terdengar suara parau kakek-kakek.
“Mbah Suro, sekarang bolehkah aku pergi?”
“Aku telah memenuhi janjiku, Jika Sukma sudah berumur 17 tahun, maka ia akan kuberikan padamu.” Kata Mbok Minah. Aahh tega sekali Mbok Minah ingin meninggalkanku sendirian bersama dukun tua itu.
“Hahaha tak semudah itu Minaaah, aku membutuhkan darahmu agar bisa merubah wujudku menjadi lebih muda lagi” seru Mbah Suro.
Tiba-tiba seekor burung hantu menukik ke arah Mbok Minah, Mbok Minah yang tidak siap menerima serangan burung hantu kaget dan langsung terjatuh, kepalanya terantuk batu besar di belakangnya, darah segar keluar dari mulut Mbok Minah. Mbok Minah langsung mati, matanya melotot menatap burung hantu yang bertengger manis di pundak Mbah Suro.
Mbah Suro mengambil cawan yang terbuat dari tanah liat, ditampungnya darah dari mulut Mbok Minah, mulutnya merapal mantera –mantera, lalu diminumnya darah itu, iiih menjijikan. Keanehan terjadi, rupa dan tubuh Mbah Suro berangsur-angsur berubah menjadi sosok pemuda bukan kakek-kakek lagi, wajahnya ganteng.
Aaah aku benci mimpi buruk ini, tapi sepertinya ini bukan mimpi. Ini nyata, masih kulihat kepala-kepala binatang itu bertengger di tembok, si kepala babi juga masih meneteskan darah. Tapi tunggu ada yang aneh, di sudut sana ada jubah hitam bertengger, padahal tadi tak ada. Hhhm mencurigakan.
“Sukmaaa !” Mbah Suro yang sudah jadi ganteng itu memnaggilku.
“Sebentar lagi kau akan kujadikan istriku, hahaha..”
Aaah ia mengigau, aku tak mau jadi istrinya. Aku takut.
Mbah Suro mulai mendekatiku, tangannya bergetar-getar, mulutnya komat-kamit merapal mantera, angina berhembus makin kencang, barang-barang pun mulai ikut bergetar.
tiba-tiba tubuh Mbah Suro dililit oleh rambut yang sangat panjang, entah dari mana datangnya. Ya rambut ibuku. Mbah Suro masih merapal mantera, tubuhnya terangkat naik, terpental menabrak tembok di sana, lalu kembali menabrak tembok di sisi sini hingga beberapa kali. Mbah Suro terlepas dari rambut panjang ibuku.
“Hahaha kau tak bisa mengalahkanku Savitri ! Beristirahat sajalah kau di neraka sana !” Seru Mbah Suro.
Tiba-tiba di tanganku sudah menggenggam tusuk konde ibuku. Kucoba ujungnya yang tajam memotong taliikatanku. Berhasil, tapi aku tetap pura-pura masih terikat.
Entah dari mana datangnya terdengar suara gesekan biola. Iramanya memilukan bagi yang mendengarnya, memancarkan kesedihan, dendam yang tak pernah habis. Mbah Suro menoleh ke salah satu ujung ruang ini.
“Hai kau Saiful pendekar biola bergema, hendak apa kau diam-diam berani ke sini. Pergi kau ! Aku tak punya dendam padamu !” teriak Mbah Suro.
“Aku hendak menghentikan kejahatanmu Mbah Suro, kau sudah lama menyakiti gadis itu.” Kata Saiful.
Kulihat Mbah Suro mulai berkelahi dengan Saiful. Kulihat kadang Mbah Suro menutup kupingnya, entahlah bait apa yang didendangkan Saiful sepertinya Mbah Suro tak tahan mendengarnya. Aku mulai melepasakan ikatan kakiku, aku berjalan diam-diam dan bersembunyi di balik lemari. Tanganku masih memegang tusuk konde ibuku.
“Hahaha… sekarang kau tak bisa ke mana-mana lagi Saiful, biola hitammu sudah patah jadi dua, burung hantuku pintar membantuku, hahaha,” Teriak Mbah Suro riang.
Astaga kulihat Mbah Suro sudah duduk di atas badan Saiful yang juga mulai sesak nafas dicekik Mbah Suro. Saiful melihatku, mata Saiful seperti berkata-kata berbicara padaku, bibirnya tersenyum, aahh ganteng sekali, padahal kondisinya terdesak, nyawanya di ujung tanduk.
Aku langsung bangkit menuju si kepala babi yang tergantung di tembok, ku tusuk mulut babi itu dengan tusuk konde ibuku.
“Aaargh…. Siapa yang melakukan ini padaku?”
Mbah Suro bangkit, ia memegang mulutnya seperti kesakitan. Matanya mengarah ke tembok tempat kepala-kepala binatang bertengger, lalu ia melihatku.
“Sukmaaa !?”
“Bagaimana kau tahu kelemahanku? “
Aku langsung tusukkan konde ibuku ke mata babi itu juga, lalu ke mata yang satunya juga.
“Ah mataku… matakuuuu !!” Teriak Mbah Suro memegang dua matanya, ia berjalan tanpa arah dan kakinya terantuk tubuh Mbok Minah, maka jatuhlah ia, kepalanya juga terantuk batu besar. Darah segar keluar dari kepalanya dan mulutnya. Sangat menjijikan.
“Ayo Sukmaaa… Kita pergi segera dari sini, cepaaat !!” tangan Saiful meraih tanganku, kami berlari keluar gubuk.Kutinggalkan tusuk konde ibuku di mata babi itu.
“Duarr!! Duaarrr”
Setelah melewati jembatan terdengar suara ledakan dari gubuk tua itu.
***
“Ah Saiful kau selamat rupanya nak, ambo kaget melihat pohon bambu kau hampir mati, ambo siram sebentar-sebentar nak” Mak Raisah menyambut kedatangan Saiful, anaknya.
“Sukma, aah mak senang bisa bersua denganmu lagih, tinggallah di rumah sini yaaa… Jadilah istri Saiful, nanti kita bisa masak rendang kesukaanmu samo-samo. Saiful kau carilah pete di pasar yaa.. Sukma suka sekali pete rebus.”
Aaah Mak Raisah ngomong petenya jangan kencang-kencang dong.
********************************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H