Mohon tunggu...
Indah Mariana
Indah Mariana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa Suruh Orang Miskin Datang ke Jakarta?

28 Desember 2016   20:27 Diperbarui: 28 Desember 2016   20:41 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber buku Menulis Untuk Mengingat

Rusun Jatinegara

Menulis Untuk Mengingat: Catatan Penghuni Rusunawa Jatinegara terbitan Jakarta, 10 Desember 2016, juga menyajikan kondisi yang serupa [6]. Buku ini ditulis langsung oleh para penghuni Rusunawa Jatinegara. Rata-rata mereka mengeluh bahwa kehidupan di rusun justru menerbitkan banyak masalah baru buat mereka.

Mulai dari rusun yang lebih kecil ketimbang rumahnya sebelumnya, beban hidup membesar sementara pemasukan menurun, ketidakjelasan sampai kapan mereka harus membayar sewa, kesedihan bocah perempuan karena kucingnya mati terlindas beko dan sempitnya tempat bermain. Dan masih banyak yang lainnya.

Yang paling menarik barangkali adalah pandangan  Farah (11 tahun), bekas warga Kampung Pulo mengenai tudingan kampung kumuh itu.

Saya lahir di Kampung Pulo. Saya sering bermain bersama teman-teman di kali. Hatiku menjadi senang, […] Setelah banjir kampung kami penuh sampah. Maka warga Kampung Pulo membersihkan desa secara gotong royong.  […] Warga sangat berberat hati menempati rusunawa karena harus membayar sewa untuk seumur hidup. Banyak warga tidak mampu membayarnya.

Rusun Marunda

Karjono  terpaksa banting setir dari buruh pemasang marmer menjadi satpam rusun. Dulu ia harus bekerja 6 jam sehari, lalu nyambi sebagai tukang ojek, ditambah hasil berdagang istrinya; pendapatan mereka cukup untuk hidup keluarga. Sekarang, otomatis keluarga itu harus menggantungkan hidup dari gaji satpam Karjono yang bersarnya Rp3,1 juta/ bulan. Celakanya, tinggal di rusun membuat beban hidup mereka naik, jadi sekitar Rp3,5 juta. Solusinya berutang kepada tetangga. [7]

Sahabat saya menyebut apa yang dilakukan Ahok bukanlah penggusuran, karena telah disediakan rusunawa untuk menampung warga. Kebijakan itu merupakan solusi untuk memanusiawikan penduduk di kampung-kampung “kumuh” itu.

Selintas tampak benar, tetapi menurut saya menggusur adalah ketika masyarakat dicabut dari akar sosial yang ekonominya. Pemukiman bukan sekadar rumah, tetapi terkait dengan banyak hal tadi : tempat bekerja, ruang untuk berusaha, tetangga yang bisa pinjam-meminjam uang, jarak sekolah anak, tempat anak-anak untuk bermain, dan lain-lain. Jadi bukan sekadar persoalan fisik bangunan, tetapi juga non fisiknya yang harus diperhatikan.

Tentu akan ada yang berkilah, menganggap kampung-kampung ini sebagai biang keladi banjir Jakarta misalnya. Jawaban saya sederhana saja,  banyak pula pemukiman mewah dan mall yang dibangun di kawasan resapan air. Mengapa tidak mereka yang digusur? Jangan sampai muncul kembali adagium yang sempat ngetrend di era orba  bahwa orang miskin memang tidak selayaknya tinggal di Jakarta.

Perkara kampung pulo dan banjir jakarta, sejatinya sudah ada solusinya. Namanya kampung terapung. Ini bukan gagasan gila, karena sudah ada contohnya seperti rumah terapung di Belanda di bawah ini [8]. Mengapa kita tidak belajar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun