“Masyarakat madani lebih dari sekedar gerakan-gerakan pro-demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan bertamadun (civility). Sivilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Itu berarti, tidak ada satu pihak mana pun, termasuk pemerintah dan gerakan-gerakan yang prodemokrasi, yang berhak memaksakan aspirasi dan kemauannya sendiri, apakah dengan bentuk kooptasi, regimintasi, apalagi dengan hura-hura yang pada gilirannya hanya menimbulkan lawlessness dan social cost yang sering amat mahal.”
Dalam kerangka Tocqueville, disebutkan bahwa masyarakat madani diformulasi sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating) dan keswadayaan (self supporting) yang tinggi tanpa ketergantungan dengan kekuasaan negara, serta memiliki keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum.[1] Pada gilirannya akan melahirkan hubungan yang ideal antar segenap komponen bangsa – lahirnya mekanisme chack and balance. Di sini sebenarnya letak kedinamisan hubungan antara masyarakat (soceity) di satu sisi dan negara (state) negara di sisi yang lain.
Sebagai sebuah konsep, masyarakat sipil (civil soceity) berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Akar perkembangannya dapat diruntut mulai dari Ceciro. Bahkan menurut Manfred Ricdel, jauh lebih kebelakang lagi sampai Aristoteles. Yang jelas, Cicero-lah yang memulai menggunakan istilah soceitas civilis dalam filsafat politiknya. Meskipun demikian, dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, pengertian masyarakat sipil dianggap sama dengan pengertian negara (state). Maka ketika J.J. Rousseau (1712-1778) menggunakan istilah societas civile, ia memahaminya sebagai negara yang diantara fungsinya menjamin hak milik, kehidupan dan kebebasan para anggotanya. Baru setelah paruh kedua abad ke-18 terminologi ini mengalami pergeseran makna. Nagara dan masyarakat sipil merupkan dua konsep yang berbeda, sejalan dengan social formation dan perubahan struktur politik Eropa.
Tahapan yang harus dilalui oleh sebuah negara yang beralih dari suatu rezim yang non demokratis menjadi demokratis. Pertama, preparatory phase, yaitu tahap persiapan, yang ditandai dengan pergulatan dan pergolakan politik yang diakhiri dengan runtuhnya rezim non demokratis. Kedua, decision phase, yaitu tahap penentuan, di mana unsur-unsur yang ada pada demokrasi dibangun dan dikembangkan dengan sedemikian rupa sehingga bisa menjadi landasan pijak untuk menuju fase selanjutnya, yaitu fase ketiga,consolidation phase - tahap konsolidasi, di mana demokrasi baru dikembangkan lebih lanjut menjadi bagian yang mapan dari budaya politik.
Dengan kata lainbahwa kemapanan budaya politik yang demokratis tidak bisa dipisahkan dari konsolidasi demokrasi itu sendiri. Artinya tahapan-tahapan yang ada itu memang harus dilalui, dan pada mulanya demokrasi dipandang sebagai the only game in town. Tapi dalan perkembangan selanjutnya justru politikus dan masyarakat akan terintegrasi dan melihat proses serta praktik-praktik demokrasi tersebut sebagai the right and natural order of thing.
Secara oprasional semangat demokratisasi (reformasi politik) tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan utama, yaitu, 1) mengurai kekuasaan yang demikian terpusat di tangan eksekutif ; 2) mengembangkan rasa antarwarga negara maupun anatara negara dengan warganya; dan 3) transparansi kinerja politik yang accountable terhadap masyarakat. Selanjutnya, untuk menopang agenda reformasi yang demikian, maka gerakan ini harus didukung oleh; 1) penegakan hukum;2) aktivitas pemerintah yang predictable; 3) Transparansi proses politik; 4) akuntabilitas elit politik; 5) peningkatan rasionalitas anggota masyarakat.
Terma demokrasi pada dasarnya memiliki phenomena yang cukup kompleks. Dalam konteks pembangunan, kita masih mempertanyakan korelasi dan eksistensi demokrasi itu sendiri. Pertanyaan yang paling mendasar, adalah apakah demokrasi menjadi prasyarat pembangunan atau justru pembangunan merupakan hasil dari proses demokrasi?. Karena apa yang disebut sebagai negara refresif secara logika dipahami bukan termasuk kategori demokratis. Tetapi permasalahannya, justru karena regimitasinya dapat diprediksi, maka investasipun berdatangan dan perekonomianpun tumbuh secara signifikan. Sedangkan negara yang disebut-sebut demokratis justru direpotkan oleh proses pergantian kepemimpinan atau persoalan hukum seperti pemilu 2004, 2009, kasus MK (surat Palsu) Cicak buaya, Kasus Nazarudin, KPK VS Banggar dan kasus lainya yang saling keterkaitan. Tetapi catatanyang bisa diambil dari pemikiran Russel ini sebenarnya memang ada beberapa negara yang pertumbuhan ekonominya cukup baik meski otoriter, tetapi hal demikian tidak bisa bertahan lama, karena regim yang ada hanya lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi untuk keuntungan kelompok tertentu saja. Seperti kasus Amerika Latin dan beberapa negara Asia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H