"Nisa itu masih anak-anak, kenapa harus menghukumnya seperti itu. Coba kalau dia sakit, siapa yang akan repot. Kasian juga Nisa. Bunda itu harusnya bisa menjadi seorang ibu yang melontarkan kasih sayang dan kehangatan pada kedua putri kita, Nisa dan Fira",
"Berbagai ejekan dari teman-temanya sudah cukup menyiksa Nisa. Tapi kenapa bunda masih saja menambah siksan untuk Nisa." Ucap suamiku sambil berlalu. Aku meresapi setiap kata yang keluar dari mulut suamiku. Mataku memerah. Memang benar apa yang barusan dikatakanya. Selama ini Nisa cukup tegar mengahdapi ejekan dari teman-temanya karna kaki kirinya yang cacat. Ia tak pernah bersedih, menangis dan mengadu padaku. ia anak kuat dan pemberani.
Dari balik pintu kuperhatiakan kedekatan Nisa dengan ayahnya. Nisa yang tadi baru menangis karna siksaanku kini sudah kemabali ceria. Aku mengusap mataku yang memerah. Memandang kagum pada putri sulungku yang memang benar-benar tegar.
"Nisa sudah sampai jus berapa?" Tanya suamiku sambil mengusap kepala Nisa.
"Alkmdulilah yah, Nisa sudah sampai jus 8. Oh iya yah, Lusa Nisa ikut lomba qiro'ah Al quran di kabupaten", kata putri sulungku dengan lugunya. Ya Allah, selama ini aku tak pernah memperhatikan Nisa dan tak pernah mau tahu sudah bisa apa sekarang dia. Perhatianku hanya kuhabiskan untuk Fira. Sungguh jahat diriku ini yang tidak bisa menyayangi Nisa dengan sepenuh hatiku seperti aku menyangi Fira hanya karna kekuranganya.
"Ya...Allah hadirkanlah rasa sayang untuk Nisa seperti rasa sayangku pada Fira." Sepenggal doaku kala menatap wajah ceria Nisa yang sedang bercanda dengan suamiku. Â
Malam itu aku sengaja tidur di samping Nisa. Kupandang wajah ayu bidadari kecilku. Ia memiliki mata coklat, bibir mungil dan lesung pipi yang menambah kecantikanya. Nisa begitu mirip denganku, bahkan jauh lebih mirip denganku dibanding Fira. Dia adalah cerminan diriku. Aku memeluk Nisa yang sedang terlelap. Air mataku bercucuran mengingat sikap kasarku pada Nisa.Â
Sejak Fira lahir, aku benar-benar tak ada waktu untuk Nisa. Terakhir menyuapi Nisa kala ia masih berusia 4 tahun. Ntahlah aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya aku menggendong dan memanjakanya karna yang biasa kualkukan hanya menyiksa dan memarahinya. Aku pun jarang mengajak Nisa kerumah teman atau saudaraku, karna aku malu jika mereka tahu keadaan Nisa yang kaki kirinya cacat. Sementara Fira, kemanapun aku pergi ia selalu kuajak dan kukenalkan dengan semua teman-temanku. Oh...sungguh ibu macam apa diriku ini  yang malu mengakui anaknya sendiri.
"Nisa...,bunda sayang padamu. Bunda sangat sayang pada Nisa. Maafkan bunda yang selama ini sering marah marah pada Nisa." Ucapku lirih pada Nisa yang sudah terlelap. Mataku terus saja menitih kala kupandang wajah lugu putriku. Diatas meja belajarnya kudapati fotoku memeluk Nisa. Foto itu diambil kala Nisa baru berusi 3 tahun. Kuraih foto ukuran 4R tersebut. Dibelakang foto terdapat sebuah tulisan tangan Nisa.
"Nisa ingin disayang seperti dulu. Nisa ingin disayang seperti bunda menyayangi dek Fira". Membaca tulisan anak kelas 2 SD tersebut mataku memerah. Alangkah jahatnya diriku pada Nisa.
"Nisa bidadari kecilku...bunda janji padamu. Bunda akan menyayangi Nisa seperti bunda sayang pada dek Fira."