Berita soal gerakan Jaga Suara muncul di sejumlah media massa pekan ini. Posko Jaga Suara Pram-Doel diresmikan Relawan Jaga Suara dan Kawan 98 di kawasan Sungai Barito, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (14/11/2024).
Dihadiri langsung Tim Pemenangan Pram-Doel, Cornelia Agatha, pendirian posko ini untuk memastikan pilkada berjalan bersih sekaligus untuk mengawal suara cagub-cawagub Jakarta, Pramono Anung-Rano Karno.
Di hari yang sama, Relawan Jaga Suara di Jawa Tengah menggelar Umbul Donga serentak 35 Kabupaten/Kota se-Jateng. Acara ini bagian dari ikhtiar batiniah untuk memohon kepada Tuhan YME agar Pilkada Jateng berjalan aman, lancar, dan tanpa kecurangan, serta langkah awal untuk menjaga suara Andika-Hendi.
Hajatan di atas memiliki maksud yang baik, yaitu menghadirkan kesempatan bagi warga untuk memilih calon pemimpin yang terbaik bagi mereka. Namun, sebebas apakah warga bisa menentukan pilihan. Itu bukan pertanyaan mudah.
Sebagian orang mungkin bisa bebas dalam menentukan pilihannya. Tapi tidak demikian dengan kelompok warga lainnya. Mereka masih menghadapi kendala dalam menggunakan hak pilihnya secara bebas.
Hal ini telah dibuktikan oleh Kelompok Relawan Kawan 98 dalam beberapa kali survei. Mereka menemukan sejumlah dugaan pelanggaran di wilayah Jakarta. Hal yang sama juga ditemukan oleh Relawan Khusus (Rensus) Jaga Suara yang menyebar di 35 kota Provinsi Jawa Tengah.
Padahal, bagi bangsa Indonesia, pemilihan umum bukanlah barang baru. Sejak tahun 1955 mereka sudah mengenalinya. Akan tetap kualitas pemilihan umum selalu dipertanyakan, khususnya terkait kebebasan warga dalam menggunakan hak pilih sebebasnya.
Berbagai kendala bisa menghalangi itu. Sebabnya bisa berasal dari warga sendiri maupun dari luar diri mereka, yakni langkah dan tindakan pihak tertentu yang sengaja membatasi kebebasan warga.
Gerakan Jaga Suara diinisiasi menyusul adanya dugaan terjadinya praktik intimidasi, penyuapan, dan tindakan lain yang tak selaras dengan tujuan Pilkada, yakni memilih pemimpin sesuai kehendak warga.
Praktik politik sembako terbukti membatasi hak warga karena beras, minyak dan berbagai benda lain membuatnya berhutang budi sehingga mesti  memilih sesuai dengan kehendak pemberi.