Kondisi global dalam beberapa tahun ke depan diprediksi akan gelap. Pasalnya, ketika dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi virus Covid-19, perang antara Rusia dan Ukraina meletus. Situasi ini menimbulkan berbagai krisis bagi negara-negara di dunia.
Gonjang-ganjing dunia ini menjadi perhatian besar Presiden Joko Widodo. Kepala Negara terus mewanti-wanti jajarannya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan krisis yang akan datang, termasuk krisis pangan, energi, hingga keuangan.
Bahkan, peringatan (warning) itu diulang-ulang dalam beberapa kesempatan berbeda di waktu yang berdekatan. Ini menggambarkan situasi yang benar-benar serius, dan memerlukan perhatian khusus untuk diwaspadai dan diantisipasi sebaik mungkin.
Pertama, Presiden Jokowi menyebut tahun 2023 akan menjadi tahun gelap akibat krisis ekonomi, pangan, hingga energi. Itu disampaikan pada Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD di Istana Bogor, Jawa Barat, pada Jumat, 5 Agustus 2022
Informasi 'tahun gelap' tersebut diterima Presiden setelah berdiskusi dengan Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetary Fund (IMF), dan Kepala Negara G7. Pimpinan lembaga internasional itu kompak menyebut bahwa situasi tahun depan akan sulit.
Kedua, momen saat Presiden mengumpulkan para pimpinan negara untuk membahas krisis global yang sedang terjadi di beberapa negara di dunia, mulai dari krisis pangan, krisis energi, hingga krisis keuangan di Istana Negara, Jakarta, pada 12 Agustus 2022
Ketiga, disampaikan Kepala Negara pada Pidato Kenegaraan dalam rangka HUT ke-77 Republik Indonesia di Gedung Parlemen, Jakarta, 16 Agustus 2022. Lagi-lagi, Presiden Jokowi menyinggung ancaman krisis yang mencekam, yakni "triple krisis" yang meliputi krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan.
Pengulangan Presiden Jokowi atas potensi krisis pangan, energi dan keuangan itu menunjukan level yang tidak main-main. Peringatan ini harus diterjemahkan dengan baik oleh para menteri dan jajaran di bawahnya agar menjadi kebijakan yang tepat.
Karena akibat dari krisis tersebut, menurut Presiden Jokowi, sangat serius. Setidaknya 107 negara akan terdampak, sebagian malah diperkirakan akan jatuh bangkrut. Kemudian, ada 553 juta jiwa terancam kemiskinan ekstrim dan 345 juta jiwa terancam kekurangan pangan dan kelaparan.
Belum lagi dengan harga minyak dan gas dunia yang terus melambung tinggi. Ini akan mengerek inflasi dan menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal, kemampuan APBN untuk menahan ini juga terbatas.
"Cari negara yang subsidinya sampai Rp 502 triliun karena kita harus menahan harga pertalite, gas, listrik, termasuk pertamax. Ini gede sekali. Tapi apakah angka Rp 502 triliun ini masih terus kuat bisa kita pertahankan? Ya kalau bisa, alhamdulillah baik, artinya rakyat tidak terbebani. Tapi kalau memang APBN tidak kuat, bagaimana?" tutur Presiden Jokowi, sebagaimana dikutip dari presiden.go.id
Tata Ulang Pengelolaan Batu Bara
Meski dalam berbagai laporan, Indonesia disebut tidak termasuk negara yang terdampak krisis, namun kita tetap harus berjuang dan bertahan agar tidak ambruk. Dan, ini membutuhkan kesiapan untuk mengantisipasinya.
Salah satu masalah riil yang harus diatensi dan segera dibenahi oleh pemerintah adalah urusan tata kelola batu bara. Terutama terkait dengan rantai pasoknya sebagai bahan baku listrik.
Urgensi ini terkait dengan karakter komoditas batu bara itu sendiri. Batu bara tidak hanya komoditas bisnis belaka, namun juga komoditas strategis bagi keberlangsungan ekonomi suatu negara. Karena batu bara menjadi sumber energi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, beres-beres pekerjaan rumah ini sangat penting, semata agar kita tidak terjerumus dalam krisis energi di masa depan. Â
Dalam konteks saat ini, pasokan batu bara untuk dalam negeri kondisinya tengah menipis. Sebabnya bermula dari disparitas yang tajam antara harga lokal dan internasional. Alhasil ini menyebabkan para penambang batu bara lebih memilih menjual di luar negeri daripada di dalam negeri sendiri.
Secara rasional ekonomi itu memang menggiurkan. Bayangkan saja, harga batu bara di pasar Ice Newcastle telah mencapai US$ 380/ton per 4 Agustus lalu, sementara harga untuk Domestik Market Obligation (DMO) di dalam negeri 'hanya' US$ 70/ton. Timpangnya harga ini mendorong para pemasok memilih menjual ke pasaran internasional.
Masalahnya timbul ketika tipisnya pasokan batu bara tersebut juga menghajar Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perusahaan setrum negara itu dibuat kelimpungan karena tidak ada pemasok yang mau berkontrak dengan mereka.
Padahal, setoran batu bara ini krusial sekali bagi PLN. Ibaratnya ini makan dan minum bagi manusia. Sebab, bahan baku utama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah 'emas hitam' ini.
Kalau pasokan ini tersendat, pastinya akan mempengaruhi suplai listrik PLN pada masyarakat. Ancaman krisis listrik pun bisa terjadi, dimana ditandai dengan pemadaman listrik bergilir atau bahkan ancaman blackout sampai berhari-hari. Ini jelas sangat berbahaya bagi kita.
Untuk itu, tata kelola batu bara ini harus segera dibenahi. Salah satunya dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) Batu Bara. Pembentukan lembaga baru ini ditujukan untuk mengatasi 'ketegangan' antara kepentingan bisnis nasional dan kebutuhan PLN.
BLU Batu Bara didesain untuk menjadi pemungut iuran bagi para penambang dari setiap transaksi penjualan mereka. Iuran ini akan diberlakukan ketika harga batu bara sudah dilepas sesuai harga pasar. Artinya, sudah tidak ada lagi harga yang ditetapkan pemerintah. Nantinya dari iuran itu yang digunakan untuk menutupi selisih pembelian batu bara oleh PLN.
Kehadiran BLU Batu Bara ini akan membawa dua konsekuensi. Bagi pelaku industri batu bara, mereka akan mendapatkan harga lokal yang sama dengan pasaran internasional, sehingga mereka mengutamakan pasar dalam negeri terlebih dahulu. Sebaliknya, dari sisi PLN, pasokan batu bara menjadi lebih pasti dan ajeg, sehingga mereka tetap bisa operasional dengan baik.
Dengan begitu, skema BLU Batu Bara ini tidak akan membebani keuangan negara. Sekaligus dapat menjembatani dua kepentingan, tanpa mengorbankan salah satunya. Bisa dikatakan, ini dapat menjadi kebijakan terbaik agar krisis energi bisa dihindari sebagaimana peringatan Presiden Jokowi di atas.
Namun, upaya untuk mencari solusi terbaik atas permasalahan energi di negeri ini tidaklah mudah. Jalan terjal harus dihadapi karena hingga saat ini ada upaya dari beberapa pihak yang justru menginginkan BLU Batu Bara ini batal, dan/atau tertunda pelaksanaannya.
Parahnya lagi, niatan penundaan tersebut malah muncul dari pejabat pemerintahan sendiri, entah demi kepentingan pribadi atau kelompok. Dan, secara tidak langsung itu turut mendukung kepentingan negara lain, dimana sekarang semua tengah berebut untuk mendapatkan batu bara Indonesia untuk mengamankan pasokan energinya masing masing.
Niatan dari para pengusaha maupun pejabat pemerintah tersebut pada hakikatnya tidak memahami situasi krisis global yang disampaikan oleh atasannya sendiri, yaitu Presiden Jokowi. Padahal, dengan menunda dan membatalkan BLU Batu Bara itu, justru akan membuat Indonesia makin tidak responsif, dan kelabakan menghadapi krisis energi, terutama dari sektor kelistrikan.
Pada akhirnya, hal itu akan semakin menambah beban krisis di negara ini. Setelah sektor BBM yang cukup berat dihadapi pemerintah, berikutnya harus menanggung beban krisis listrik. Ujung-ujungnya tak lain dan tak bukan, masyarakat luas yang jadi korbannya.
Oleh karena itu, berbenah tata kelola batu bara seperti di atas menjadi kebutuhan yang sangat mendesak saat ini. Menurut saya, justru ini harus dijadikan prioritas. Karena menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
Kalau ini dibiarkan berlarut-larut, dan para pejabatnya menutup mata, maka kemungkinan krisis energi akan menghampiri kita. Dan, situasi ini tentunya bukan yang kita harapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H