Kegusaran Presiden Jokowi atas masalah di perguruan tinggi di atas memang patut dimengerti. Sebagai pemimpin negara, Jokowi merasa kualitas perguruan tinggi kita tak segera beranjak dan masih saja tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Di sisi lain, persaingan global semakin keras dan cepat. Kualitas SDM menjadi salah satu faktor penentu bangsa kita akan maju atau semakin tertinggal. Mau tidak mau, pemerintah harus turun tangan untuk ikut meningkatkan kualitas kampus-kampus kita.
Namun sayangnya, solusi yang diambil pemerintah ternyata bersifat instan. Upaya memasukan rektor asing ke dalam perguruan tinggi negeri bukanlah solusi yang bijak untuk meningkatkan kualitas.
Dalam ilmu manajemen, ada satu prinsip penting yang harus dipegang, yaitu solusi atas suatu masalah haruslah berdasarkan pada masalah itu sendiri. Pun begitu pada persoalan perguruan tinggi kita.
Bila problem mendasar kita terletak pada soal rendahnya kualitas riset dan tata kelola universitas, maka pengambilan keputusan seharusnya berfokus pada itu. Bukan pada siapa yang akan menyelesaikannya. Di sini, persoalan dalam dan luar negeri (harusnya) bukan menjadi fokus utamanya.
Masalahnya, kita kerap menggiring universitas atau perguruan tinggi ini sebagai panggung politik. Siapa yang menjadi rektor atau jabatan pemimpin perguruan tinggi, kerap tergantung pada kedekatan personal dengan pejabat atau pemegang kuasa tertentu. Bukan didasarkan pada aspek profesionalitas dan kemampuan kerja.
Alhasil, rektor universitas atau pimpinan perguruan tinggi lebih bergaya politisi dibandingkan sebagai seorang akademisi. Mental politisi ini sedikit banyak berpengaruh pada manajemen dan fokus utama yang akan dikejar oleh perguruan tinggi tersebut. Alih-alih memperhatikan soal orientasi utama unversitas, tetapi lebih pada tampilan kulitnya.
Preskripsinya, tentu saja, kita harus mencari pemimpin atau rektor perguruan tinggi yang cakap dan profesional di bidangnya, baik untuk mengelola riset (notabene tugas utama universitas) dan juga manajemen pendidikan lainnya. Inilah fokus utamanya.
Mengabaikan persoalan tersebut sembari mencari solusi dengan mendatangkan rektor atau tenaga profesional dari luar negeri bukanlah pertimbangan yang masuk akal. Toh, tak ada jaminan hadirnya rektor atau tenaga profesional dari luar negeri itu akan membereskan masalah utama tadi.
Di samping itu, cara pandang instan seperti di atas juga menunjukan cara berpikir kita yang salah. Dimana letak salahnya? Tak lain pada mental 'inlander'.
Mental Inlander ini ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, serta memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju.