Lingkungan inklusif dapat diwujudkan melalui penerapam desain pembelajaran universal (universal design for learning) yang memastikan semua peserta didik memiliki akses yang setara terhadap materi dan pengalaman belajar. Langkah-langkah ini meliputi penyediaan akomodasi yang wajar dan menggunakan teknologi bantu untuk peserta didik disabilitas (Riswari dkk., 2022). Selain itu, pendekatan kolaboratif dalam kelas seperti pembelajaran berbasis tim atau peer teaching, juga terbukti efektif meningkatkan interaksi sosial dan kerja sama antar peserta didik dari berbagai latar belakang (Forlin dkk., 2013). Penerapan strategi ini dapat membantu membangun rasa kebersamaan dan mengurangi segregasi dalam ruang kelas.
Keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif tidak hanya bergantung pada kebijakan institusi pendidikan, tetapi juga pada kompetensi guru dalam menghadapi keberagaman peserta didik. Guru perlu memiliki pelatihan khusus untuk memahami dan merespons kebutuhan peserta didik secara adaptif. Selain itu, dukungan dari komunitas sekolah termasuk keterlibatan orang tua dalam proses pembelajaran juga memiliki peran penting dalam menciptakan suasana yang harmonis. Melalui pendekatan yang terintegrasi ini, pendidikan inklusi mampu menciptakan ruang belajar yang mendukung kesetaraan, mendorong pengembangan potensi setiap peserta didik, dan membentuk masyarakat yang lebih inklusif (Nadhiroh & Ahmadi, 2024).
Tantangan dalam Mewujudkan Dunia Tanpa Perbedaan
Mewujudkan dunia tanpa perbedaan dalam pendidikan, khususnya pendidikan inklusi tentunya muncul berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya sumber daya manusia yang terlatih, terutama guru pendamping khusus. Penelitian yang dilakukan oleh Aranditio dkk (2023) menunjukkan bahwa jumlah guru pendamping khusus yang ada di Indonesia masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah inklusi. Banyak sekolah reguler menolak menerapkan sistem inklusi karena kekurangan tenaga pendamping yang kompeten, sementara guru reguler sering kali tidak memiliki pelatihan khusus dalam menangani peserta didik dengan kebutuhan khusus. Selain itu, nomenklatur profesi guru pendamping khusus belum diakui sepenuhnya yang memengaruhi status, remunerasi, dan motivasi para guru untuk tetap berada dalam profesi tersebut.
Tantangan lain yang menghambat terciptanya dunia tanpa perbedaan adalah infrastruktur yang tidak memadai untuk mendukung pendidikan inklusi. Banyak sekolah di daerah perkotaan maupun pedesaan yang masih minim aksesibilitas untuk peserta didik yang mengalami kebutuhan khusus. Hal ini mencakup ketiadaan fasilitas fisik seperti ramp, lift, atau toilet yang ramah disabilitas, serta alat bantu belajar yang sesuai. Di sisi lain, paradigma masyarakat terhadap pendidikan inklusi juga masih kurang berkembang. Sebagian besar masyarakat, termasuk beberapa tenaga pendidik, masih memiliki stigma terhadap peserta didik dengan disabilitas, sehingga memperlambat adopsi lingkungan pendidikan yang inklusif (Nisak, 2018).
Koordinasi antar pemangku kepentingan dalam menyukseskan pendidikan inklusi juga masih menjadi tantangan dalam mewujudkan dunia tanpa perbedaan. Pemerintah, sekolah, dan orang tua sering kali tidak berada dalam satu visi untuk mendukung pendidikan inklusi. Kebijakan yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, memang telah memberikan dasar hukum untuk inklusivitas, tetapi implementasinya tidak merata di semua wilayah. Tantangan ini diperparah oleh kurangnya pelatihan berkelanjutan bagi tenaga pendidik untuk mengatasi kebutuhan yang dinamis dari pendidikan inklusi, sehingga sekolah sering kali gagal memberikan lingkungan belajar yang efektif bagi semua siswa  (Kristiana, 2021).
Peran Guru dan Orang Tua dalam Membentuk Dunia Tanpa Perbedaan
Orang tua dan guru memiliki peran yang saling melengkapi dalam mendukung anak menghadapi hambatan belajar dan sosial di lingkungan pendidikan inklusi. Orang tua, sebagai sumber informasi penting untuk membantu guru dalam memahami kebutuhan dan karakteristik anak untuk merancang program pembelajaran yang sesuai (Fitriani dkk., 2024). Selain itu, orang tua dapat mendukung anak di rumah melalui pendampingan belajar, sehingga tercipta konsistensi antara sekolah dan rumah. Penelitian yang dilakukan Nurfadillah dkk., (2022) di SDN Panunggangan 01 menunjukkan bahwa kolaborasi guru inklusi dan orang tua terbukti efektif dalam memberikan dukungan kepada peserta didik dengan ADHD dan slow learner.
Guru memegang peran utama dalam menciptakan lingkungan belajar inklusif yang menghargai keberagaman. Hal ini dilakukan dengan menerapkan strategi diferensiasi pembelajaran yang menyesuaikan materi dan metode pengajaran sesuai kebutuhan siswa. Selain itu, sikap positif guru terhadap keberagaman sangat penting dalam mengelola kelas dan memberikan perhatian kepada peserta didik dengan berbagai kebutuhan (Wrastari & Elisa, 2013). Misalnya, guru dapat menciptakan kegiatan kelompok yang melibatkan peserta didik reguler dan peserta didik berkebutuhan khusus untuk membangun interaksi yang harmonis.
Kolaborasi antara guru dan orang tua sering kali menghadapi kendala, seperti kurangnya pemahaman orang tua tentang pendidikan inklusi atau keterbatasan waktu mereka untuk terlibat dalam proses komunikasi. Sementara itu, guru juga menghadapi beban kerja yang menyulitkan kolaborasi yang lebih mendalam (Wardani & Dwiningrum, 2021). Untuk mengatasi hal ini, pertemuan rutin, baik langsung maupun daring, perlu diadakan untuk mendiskusikan perkembangan anak. Selain itu, pelatihan bersama mengenai konsep pendidikan inklusif dapat memperkuat sinergi antara guru dan orang tua dalam menciptakan dunia pendidikan yang lebih inklusif.
KESIMPULAN