apakah kelebihan adanya banten dalam  tradisi Hindu?
Bali atau dijuluki sebagai pulau dewata merupakan suatu daerah yang memiliki ciri khas tersendiri. Panorama keindahan alam, keramahan masyarakat local, dan segudang budaya masih sangat kental di daerah ini. Tidak hanya itu, masyarakat Bali juga dikenal memiliki sikap toleransi yang tinggi, hal tersebutlah yang menarik para wisatawan untuk berlibur ke Bali. Sehingga Sebagian besar mata pencarian atau sumber pemasukan berasal dari bidang pariwisata. Seperti yang sudah kita ketahui, mayoritas agama di Bali adalah Hindu dan Hindu merupakan salah satu agama tertua di Dunia.Â
Meskipun Pemeluk agama Hindu semakin sedikit setiap tahunnya, hal tersebut tidak membuat melemahnya kebudayaan-kebudayaan yang ada di Bali. Bali sangat banyak mempunyai kebudayaan yang diwariskan dari zaman dahulu dan cukup banyak digemari oleh kaum pemuda. Kebudayaan di Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kebudayaan sakral dan kebudayaan pertunjukkan. Kebudayaan pertunjukkan meliputi ; megambel, tari bali, mageguritan, baleganjur, genjek, jogged, dolanan, dan masih banyak lagi. Para pemuda di Bali kebanyakan memilih megambel dan menari sebagai hobi mereka. Hal itu disebabkan karena melalui megambel atau menari, mereka bisa melepaskan emosi dan ekspresi secara bebas melalui alunan melodi gamelan. Selain itu, megambel dan menari mampu menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi. Sedangkan kebudayaan sakral di Bali sangat sedikit atau bisa disebut jarang digemari oleh kaum pemuda. Salah satu kebudayaan yang sakral di Bali adalah "Banten". Masyarakat Bali sudah sangat terbiasa dengan keberadaan banten, bahkan masyarakat non hindu di bali juga mengetahui untuk apa banten tersebut digunakan. Banten merupakan sarana vital yang mengandung makna spiritual dan digunakan sebagai bentuk wujud bhakti atau rasa bersyukur kepada ida sang hyang widhi (tuhan yang maha esa). Banten dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu banten alit, madya, dan utama. Sebenarnya banten ini dibuat berdasarkan ketulus ikhlasan dan tidak harus megah. Karena tujuan dibuatnya banten adalah hanya sebagai sarana spiritual.
 Namun seiring berjalannya waktu, banten di Bali seakan dijadikan ajang pamer harta oleh masyarakat Hindu. Selain itu, di era digital ini banten menjadi barang untuk dijual. Banyak masyarakat hindu menjadikan banten sebagai barang atau jasa yang diperjual-belikan di pasaran maupun lewat media social. Padahal proses pembuatan banten tersebut juga dimaksudkan untuk tetap menjaga kekentalan buadaya membuat banten, jika kita membeli maka secara tidak langsung masyarakat Bali yang tidak bisa membuat banten akan semakin malas untuk belajar membuat banten tesebut. Hal itu juga cukup menjadi kontroversi baru-baru ini, karena para penglingsir (petua-petua yang ada di Bali) sangat mengkhawatirkan jasa penjualan banten tersebut. Mereka berpikir bahwa banten akan menjadi barang jual-beli yang umum dan menghilangkan nilai spiritualnya sendiri.
Kelebihan banten yang ada di Bali itu sendiri sangatlah fleksibel. Selain sebagai sarana upacara, banten memberikan makna-makna filosofis yang terkandung setiap komponennya, banten dijadikan pengerat hubungan antara individu di Bali karena proses pembuatannya secara gotong-royong dan penuh kebersamaan. Dan yang paling penting adalah dapat meningkatkan sektor ekonomi lokal. Pada umumnnya, komponen banten meliputi pejatian, canang, ajengan, daksina, canang ketipat, peras, beras jinah, segehan/pengluar, banyuawangan, dan layudan. Namun, hal yang paling mencolok dan menjadi ciri khas dari banten tersebut adalah layudan atau bisa disebut lungsuran. Lungsuran merupakan aneka makanan yang terdapat pada banten dan hanya boleh dimakan setelah melakukan ritual persembahyangan. Lungsuran ini dipercaya sebagai anugrah langsung dari ida sang hyang widhi. Jika kita berpikir lebih dalam, lungsuran dalam banten tersebut merupakan makanan-makanan dan buah-buahan lokal Bali. Jadi dapat kita asumsikan bahwa banten juga termasuk salah satu faktor meningkatnya ekonomi di Bali. Menjelang hari raya agama, para pedagang kue dan buah biasanya akan berjualan di tepi jalan, menerima pesanan lewat media social, maupun hanya berjualan di rumahnya saja. Buah-buahan lokal seperti Jeruk kintamani, rambutan, salak, dan jeruk Bali sangatlah laku pada saat hari raya keagamaan. Tidak sedikit orang di Bali dengan kemampuan ekonomi menengah keatas mempunyai ladang untuk menanam salah satu buah tersebut. Karena penghasilannya tergolong tinggi, apalagi menjelang hari raya. Selain itu, para pemilik ladang juga dapat membuka lapangan pekerjaan baru, sehingga kasus pengangguran yang ada di Bali dapat diminimalisir meskipun tidak cukup efektif. Tanpa adanya lungsuran dalam banten tersebut, jelas pendapatan masyarakat di Bali akan sedikit terhambat.
Nama: Kadek Indah Cahya Hariani
Nim : 2112021215
Prodi: S1 Pendidikan Bahasa Inggris
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H