Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lebaran, Jangan Datang Lagi

8 April 2024   22:47 Diperbarui: 8 April 2024   22:50 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pribadi (designed by canva)

Narmi melambatkan laju motornya di antara deru mesin kendaraan lainnya. Jalan yang biasa ia lalui setiap hari kali ini semakin ramai. Sepeda motor saling beradu kecepatan, entah mau dibawa kemana oleh para pemiliknya. Mobil pun tak mau kalah, mentang-mentang badannya lebih besar dari sepeda motor lantas mereka ingin menjadi penguasa jalanan. Semua orang turun ke jalan dan menuju tempat-tempat yang menjual segala kebutuhan mereka.

Narmi menggerutu dalam hati, laju sepeda motornya memang tak sepadan dengan yang lainnya. Ia agak kerepotan saat harus mempertahankan mesin pada motornya yang tak bisa diajak kompromi. Jika berhenti sebentar, mesin akan mati. Narmi harus mengengkolnya, bukan dengan menekan tombol starter. Jadi ia harus pandai-pandai memainkan gas pada motornya. Orang-orang di jalan itu semakin ramai. Mereka bersuka-ria untuk menyambut lebaran.

Narmi berhenti di sebuah warung kecil. Dibelinya tiga bungkus mie instan dan tiga butir telur. Malam ini menu sahur keluarganya kembali pada mie instan dan telur. Ia tidak langsung pulang, karena Narmi ragu pada motornya yang sejak tadi suka ngadat-ngadat.

Untuk sesaat Narmi hanya memperhatikan orang-orang yang melintas dengan kendaraannya. Sebagian besar dengan sepeda motor. Ada yang sendiri, berdua dengan pacar atau dengan keluarga lainnya.. Toko baju serba Rp35.000 itu di seberang jalan itu sangat ramai. Orang berbondong-bondong ke toko itu yang tidak hanya menjual pakaian dan sepatu, tetapi hampir semua perlengkapan rumah tangga.

Dua hari lagi lebaran. Tetangga Narmi sudah membeli satu set kursi tamu yang baru, ada juga yang mengganti wall paper pada dinding ruang tamunya. Bu RT malah sudah memasak rendang dan opor ayam sejak kemarin untuk dibagikan kepada para pengurus RT, masjid dan para tua tengganai di kampungnya.

"Bu, lebaran besok ndak usah beli celana baru. Abim pakai yang lama saja tapi ibu bisa kan belikan baju kaos yang baru?" tanya anak bungsunya seminggu yang lalu. Narmi mengiyakan. Ia masih sanggup membelikan baju kaos baru untuk Abim di toko baju serba Rp35.000.

Sedangkan Sari, si anak sulung lebih mengerti akan keadaan. Ia tidak meminta apapun, tapi Narmi diam-diam sudah menyiapkan baju gamis warna biru kesukaannya. Baju itu ia dapatkan dengan sistem kredit. Dua bulan yang lalu, tante Rosa si tukang kredit menawarkan baju gamis. Narmi setuju dengan perjanjian kredit yang harus ia bayarkan seminggu sekali selama delapan kali dengan jumlah uang Rp20.000.

"Nggak belanja baju Bu?" tiba-tiba Pak Tua si pemilik warung bertanya kepada Narmi yang masih berdiri mematung di depan warungnya. 

"Makin dekat lebaran, makin ramai toko depan tuh.."ujar Pak Tua tanpa mau menunggu jawaban dari Narmi. Ia lalu mendekati Narmi dan mulai bercerita tentang anaknya yang akan pulang lebaran esok.

"Kalau saya memang tidak mau lagi memikirkan apa-apa untuk lebaran nanti, anak saya yang dari Jakarta sudah berjanji untuk menyiapkan keperluan lebaran bahkan dari jauh-jauh hari." 

Narmi hanya mengangguk kecil dan segera mengengkol motornya. Dengan susah payah ia terpaksa mengeluarkan tenaga dari kaki dan paha kanannya. Sepeda motor itu belum juga menyala. Narmi mulai berkeringat. Ia berhenti sebentar dan melirik ke deretan minuman  kemasan yang terpajang di etalase warung Pak Tua. Narmi ingat, ia sedang berpuasa.

Dicobanya sekali lagi untuk menekan engkol motor tapi belum berhasil juga. Hari sudah hampir menjelang sore. Jalanan semakin padat dan toko baju serba Rp35.000 itu semakin ramai oleh pengunjung. Ingin rasanya Narmi menyeberang jalan dan memasuki toko itu. Meskipun ia tak akan membeli apapun, tapi setidaknya Narmi bisa cuci mata di sana.

"Apa tidak mau beli motor yang baru?" tanya Pak Tua seketika. Narmi tersinggung, ingin marah dan membalas pertanyaan Pak Tua dengan kata-kata yang kasar. Narmi kembali ingat, ia sedang berpuasa.

"Kalau nggak sanggup beli yang baru, yang bekas juga banyak. Ada yang harganya cuma empat juta..." 

Narmi akhirnya terpaksa mendorong sepeda motornya kembali ke rumah yang jaraknya sekitar satu kilo dari warung Pak Tua. Narmi tidak ingin lagi mendengar kata-kata dari mulut lelaki tua pemilik warung itu. Apapun itu.

Di sepanjang jalan menuju rumahnya Narmi melihat ara penjual takjil yang kerepotan melayani pembeli yang datang menghampiri. Tak kalah dengan penjual takjil, para penjual sayur atau lauk masakpun semakin banyak. Warung makan mendapat saingan di setiap bulan puasa ini. Para pedagang kaki lima bertebaran di setiap sudut jalan. Sayangnya, Narmi hanya bisa melihatnya saja.

Tiga bungkus mie instan dan tiga butir telur tergantung di sepeda motornya. Narmi terus berusaha mendorong motor itu sambil membayangkan segelas es sirup segar atau teh poci dingin. Ia merogoh kantong bajunya. Masih ada beberapa keping uang receh. Narmi berhenti sejenak dan menghitungnya. Cukup untuk membeli sebungkus es sirup warna-warni yang dijajakan penjualnya.

"Sekali-kali biar Sari dan Abim buka puasa pakai es sirup..."pikir Narmi sambil tersenyum membayangkan wajah kedua anaknya yang menyambutnya senang saat melihat sekantung es sirup yang tergantung di stang motornya.

-------

Lebaran tinggal satu hari lagi. Narmi mencium aroma opor ayam dan gulai nangka tetangga sebelah. Ia lalu menatap dapurnya yang tak berasap. Besok lebaran, Narmi harus bersyukur dengan sepiring ayam goreng yang diantar oleh Ayu tetangganya tadi pagi. Lima potong ayam goreng, cukup untuk dimakan bersama nasi besok setelah gema takbir berkumandang.

Narmi, bukan perempuan biasa. Ia adalah seorang guru honor di sebuah sekolah dasar. Suaminya bekerja sebagai tukang bersih-bersih masjid. Upah yang didapatkan suaminya hanya cukup untuk membayar kontrak rumah mereka setiap bulan. Gaji Narmi sebagai guru honor hanya bisa untuk makan sehari-hari dan itupun ia harus mencari tambahan dengan mengajar baca tulis untuk anak-anak tetangganya. Meskipun mendapatkan upah seikhlasnya, Narmi tak pernah lupa memanjatkan rasa syukur kepada Sang Kuasa.

Malam takbiran menjelang, tinggal hitungan jam. Narmi melihat tetangga depan rumahnya yang baru saja membeli kulkas dan televisi baru. Tetangga di samping rumahnya telah menata ruang tamu mereka dengan barisan toples kue kering. Ayu, perempuan yang baru saja menikah itu memamerkan baju dan sepatu baru yang akan dipakai esok lebaran. Pak Haji yang paling kaya, sengaja memarkirkan sebuah mobil baru di depan rumah yang ramai oleh keluarga besarnya yang datang dari segala penjuru kota.

Suami Narmi belum pulang, ia pasti masih sibuk di masjid. Besok pagi semua warga di kampungnya akan berbondong-bondong menuju masjid untuk melaksanakan shalat ied bersama. Abim mematut-matut diri di depan cermin kecil dengan baju kaos barunya sedangkan Sari tersenyum senang dengan  baju gamis barunya yang belum lunas angsurannya.

Narmi sesunggukan di dapurnya yang sederhana. Lima potong ayam goreng yang rencananya akan disantap esok pagi, tinggal dua potong lagi. Abim telah memakannya dua potong ketika  berbuka puasa tadi, sedangkan Sari hanya sepotong. Narmi mengalah, ia hanya berbuka dengan nasi dan kerupuk. 

Malam ini, Narmi tidak memegang uang sepeserpun. Ia tinggal berharap sang suami akan pulang dari masjid dan membawa upah kerjanya. Syukur-syukur ada orang yang dermawan yang memberikan uang untuk lebaran atau makanan dan kue-kue kering sederhana. Namun, mimpi Narmi sirna seketika saat sang suami pulang dengan tangan hampa.

Air mata semakin deras mengucur dari kedua netranya. Narmi menyembunyikan tangisnya di bawah bantalnya yang mulai kumel dan lusuh. Suami dan anak-anaknya telah tidur nyenyak dan barangkali mereka sedang bermimpi untuk berlebaran esok pagi.

Dalam tangisnya Narmi berkata lirih, "Lebaran,jangan kau datang lagi..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun