Pernahkah Anda bertemu dengan orang yang berada di tengah jalan atau di persimpangan jalan seperti pada gambar di atas? Bagaimana Anda menyebutnya? Tukang parkir atau justru Pak Ogah? Hmm, dua-duanya benar atau mungkin tidak tepat?
Jika ia adalah tukang parkir, ia bertugas mengatur kendaraan yang akan parkir di bahu jalan atau di area parkir khusus. Tukang parkir tentu mendapat imbalan atau upah dari jasanya itu, dan ada juga tukang parkir yang tidak menerima upah secara langsung. Ini biasanya adalah petugas yang mengatur letak kendaraan pada area parkir tertentu yang menerapkan sistem parkir dengan menjual tiket parkir digital.Â
Salah satu contohnya adalah Parkee yang menerapkan sistem Internet On Thing (IOT) yang terintegrasi dengan operator parkir yang menghubungkan pengelola lahan dan parkir dengan pengguna. Nah, di sini kita menemukan juru parkir yang bertugas mengatur tata letak kendaraan serta mengawasi keamanannya. Juru parkir ini menerima upah kerja secara resmi.
Sejenak saya mengalihkan ulasan ini pada orang yang bekerja sebagai tukang parkir dan juru parkir. Juru parkir (jukir) adalah orang yang ditugaskan secara resmi mengatur parkir kendaraan roda empat maupun roda dua. Sedangkan marshaller adalah sebutan bagi orang yang bertugas menjadi juru parkir pesawat untuk mengarahkan pilot untuk mengeluarkan pesawat dari apron maupun memarkirkan pesawat setelah landing. Juru parkir kendaraan di darat maupun marshaller secara resmi diakui tugasnya dan mendapatkan upah kerja yang telah ditentukan.
Tukang parkir biasanya mengatur kendaraan yang akan diparkir dan biasanya juga bertanggung jawab atas keamanannya. Biasanya tukang parkir bekerja secara mandiri, tetapi ada juga yang telah mendapat persetujuan dari pemilik lahan parkir. Tak jarang ada juga yang melakukan tugas ini tanpa persetujuan secara resmi. Tukang parkir liar adalah istilah yang sering kita gunakan.Â
Jika ada pengawasan serta tindakan dari pemerintah setempat, tukang parkir liar dapat diarahkan untuk menjadi tukang parkir resmi. Sebutan Pak Ogah juga kerap digunakan sebagai julukan bagi tukang parkir liar. Julukan Pak Ogah biasa disebut kalau si orang itu melakukan pemaksaan akan uang parkir yang jumlahnya kadang melebihi biaya parkir pada umumnya.
Lalu, bagaimana dengan orang seperti pada foto di atas, yang mengenakan jaket yang warnanya mirip dengan jaket polisi lalu lintas?
Bagaimana Anda biasa menyebutnya? Apakah ada orang yang bekerja seperti itu di daerah Anda? Kalau ia disebut sebagai tukang parkir, sepertinya tidak benar. Ia hanya mengatur kendaraan yang melintas di persimpangan jalan yang ramai. Ia tidak mengatur kendaraan yang berhenti untuk parkir.
Sudah lama saya mengamati aksi orang tersebut setiap kali saya melintasi simpang empat atau perempatan jalan yang sangat ramai dilalui truk muatan, kendaraan roda empat, sepeda motor, bahkan sepeda. Persimpangan itu bukan tempat yang baru, sudah ada bertahun-tahun yang lalu.Â
Salah satu ruas jalannya memang digunakan sebagai jalur truk bermuatan yang melintasi perbatasan kota ini. Suasana tempat itu sangat ramai oleh beberapa bangunan serta rumah penduduk. Meskipun bukan termasuk daerah pada sebuah kabupaten, persimpangan itu tidak memiliki rambu-rambu lalu lintas terutama lampu lalu lintas.
Sebelum ada orang yang mau mengatur lalu lalangnya kendaraan, saya sebagai pengguna jalan dengan kendaraan roda dua harus sangat berhati-hati ketika melewatinya. Harus memiliki kesabaran dan konsentrasi yang luar biasa.Â
Semua pengguna jalan maunya cepat, mau duluan dan sering main serobot. Kadang kendaraan kecil harus mengalah kepada truk besar bermuatan, atau kalau tidak risiko yang sangat tidak diinginkan pasti terjadi. Kadang para supir truk pun harus diuji kesabarannya, mengalah kepada pengendara yang menggunakan kendaraan berukuran lebih kecil.Â
Tak jarang di persimpangan tersebut sering terlontar kata-kata yang tidak pantas karena emosi para pengguna jalan yang tak sabaran atau yang merasa dirugikan. Lampu lalu lintas atau rambu-rambu peringatan lainnya sudah seharusnya dipasang di sana. Lokasi itu memang termasuk tempat yang agak jauh dari pusat kota, tapi apakah rambu-rambu lalu lintas tidak menjadi prioritas untuk lokasi seperti itu?
Untunglah, ada orang yang mau turun tangan membantu kelancaran simpang empat itu. Dengan mengenakan jaket yang mirip warnanya dengan jaket polisi lalu lintas, orang ini dulu sempat membuat beberapa pengendara was-was karena disangkanya adalah polisi yang sedang melakukan razia.
Menurut pengamatan saya, dia tidak bekerja sendirian. Secara bergantian ada beberapa orang yang turut mengatur lalu lintas pada persimpangan itu. Dengan jaket hijau terang, topi dan peluit, tak peduli hujan atau panas mereka selalu bersemangat mengatur laju kendaraan. Mereka bagaikan lampu hijau, kuning, dan merah.Â
Suara peluit yang dikalungkan di leher melengking seakan mengalahkan suara klakson-klakson kendaraan. Mereka bahkan tidak lagi peduli akan keselamatan diri mereka sendiri, berdiri di tengah-tengah persimpangan jalan yang padat itu. Saya dan pengguna jalan lainnya pasti merasakan hal yang berbeda karena kehadirannya. Ada rasa nyaman saat melintasi tempat itu.Â
Oh ya, ia tidak hanya berdiri di tengah jalan saja, tetapi sambil menggerakkan tangan kanan dan kirinya yang memberikan kode hati-hati, silakan jalan atau berhenti dulu. Kadang saya melihat, ia sering membantu dan mengarahkan pemotor yang ragu atau kuatir ketika menyeberang. Ia dengan keberaniannya mampu menghentikan laju truk-truk besar untuk memberikan kesempatan melaju bagi pengguna jalan dari arah atau sisi jalan yang lain.
Untuk kerja dan usahanya itu, tentu saja ada orang yang menaruh rasa simpati dan berterima kasih. Saya pernah melihat ada beberapa kendaraan yang berhenti sesaat di dekatnya untuk mengulurkan tanda terima kasih berupa uang atau bahkan makanan dan minuman. Saya tahu bahwa uang yang diterimanya tidak seberapa, bergantung pada kerelaan para pengguna jalan. Dan tidak semua pengendara memberikannya. Ia memang bekerja secara sukarela.
"Yah dari pada tidak ada kerjaan, saya rela bekerja di tengah jalan ini. Hasil yang saya dapatkan bisalah untuk makan keluarga saya untuk hari ini," begitu ungkap salah satu dari mereka.
Pernah pada suatu hari, tidak ada satu pun petugas atau sukarelawan yang turun ke jalan. Yang terjadi adalah kemacetan timbul dari empat ruas jalan yang bertemu di persimpangan itu. Harus hati-hati dan sabar.
Kerja dan aksi orang-orang seperti itu tampak berani dan gagah saat berada di tengah jalan. Mereka tak peduli lagi pada muka yang menghitam dan kusam diterpa debu dan sinar matahari. Tujuan mereka hanya ingin membantu kelancaran arus lalu lintas selain untuk mencari sesuap nasi. Tidak banyak yang mau bekerja seperti itu.Â
Sudah seharusnya mereka mendapat perhatian dari kita semua, terutama dari pemerintah setempat dengan cara dibekali perlengkapan kerja secara gratis termasuk pengetahuan berlalu lintas. Bagaimana dengan apresiasi kerja mereka? Mungkin ini dapat dipikirkan dinas terkait karena mereka bukanlah polantas, tapi hanya seorang penglantas (pengatur lalu lintas). Setujukah Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H