Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nilai Sebuah Piala

17 Februari 2021   22:28 Diperbarui: 18 Februari 2021   13:28 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti pengalamanku yang kedua, memenangkan kejuaraan pada tingkat kota. Piala aku dapatkan, semakin bangga ketika yang menyerahkannya adalah pejabat tertinggi di kotaku. Seperti yang kusampaikan tadi, bahwa piala saja tidak cukup buatku saat itu. Tentu saja aku ingin mendapatkan yang lain. Bukan berarti aku rakus. 

Seperti pemenang pada cabang-cabang yang lain dalam event yang sama, mendapatkan piala dan uang pembinaan. Namun sayang, aku hanya mendapatkan sebatang piala dengan tinggi kurang dari lima puluh sentimeter, dan sama bentuknya dengan piala-piala pada umumnya. Bedanya adalah, tulisan yang ada pada piala itu. Aku harusnya bersyukur waktu itu, tapi anehnya, sebuah tanda tanya muncul di benakku. Mengapa hanya sebuah piala?

Beberapa hari yang lalu, aku sempat kebingungan saat harus menjelaskan tentang piala kepada salah satu orangtua murid yang anaknya menjadi pemenang dalam sebuah lomba tingkat kota. Biasanya, bagi murid yang berprestasi, memenangkan sebuah lomba dan mewakili sekolah akan mempersembahkan piala yang didapatkan untuk sekolah. Lemari yang sangat besar telah tersedia di sekolah untuk menyimpan piala-piala hasil prestasi peserta didik. 

Intinya, hanya piala saja yang harus diberikan untuk sekolah, sementara itu, bentuk apresiasi lainnya adalah milik murid yang menjadi juara. 

"Mengapa sekolah tak memberikan piala ini buat anak saya, Bu?" Biar menjadi pemicu semangatnya untuk meraih prestasi selanjutnya," terang si orangtua. Dengan sabar aku mengarahkan orangtua itu untuk memesan saja piala bagi anaknya. Menduplikatkan piala. Aku memberitahukan sebuah toko piala yang cukup terkenal, dan aku sering ke tempat itu, kalau ingin memesan piala. 

"Harganya kalau untuk model yang sepeti ini, tidaklah terlalu mahal, sekitar delapan puluh sampai seratus ribu saja kok Bu," aku menjelaskan. Tapi si ibu itu tetap ngotot agar piala itu untuk anaknya, dan sekolah yang akan menduplikatkannya sebagai  koleksi.

"Ah, berapalah harga piala ini, mau buat yang murah atau mahal, masih bisa ibu ini membelinya, mengapa harus pake itung-itung segala," aku menggerutu dalam hati.

Piala memang menjadi saksi bisu terukirnya sebuah prestasi. Bagaimanapun bentuk dan harganya, sebenarnya bukanlah sesuatu yang penting. Yang menjadi kebanggaan bagi sang juara adalah goresan-goresan kalimat yang tertera di bagian bawah piala. Juara ke berapa, pada event apa, dan bulan atau tahun kejuaraannya. Piala jelas menjadi pemicu semangat untuk terus berjuang meraih prestasi-prestasi yang lebih tinggi. 

Bagiku, melihat murid-muridku berhasil menjadi juara pada beberapa event perlombaan adalah suatu kebanggaan yang tak terkira. Muncul rasa puas dalam diriku, dan rasa syukur. Dengan itu, aku menjadi semakin terpacu untuk meningkatkan kemampuanku sebagai pelatih atau pembimbing pada bidang-bidang perlombaan. Aku bangga, telah mempersembahkan piala yang tak ternilai bagi murid-muridku dan sekolah. Piala itu adalah sekeping hati penuh rasa ikhlas.    

"Teruslah menjadi juara di hati semua orang" aku berjanji. Dan tetap akan mempersembahkan piala-piala berikutnya yang memiliki nilai kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun