Kasus kebakaran hutan di Indonesia bukanlah merupakan kasus yang kecil. Terlebih lagi kasus kebakaran hutan ini baru disebut 'berat' ketika sudah digolongkan ke dalam kasus transboundary di mana harus ada negara lain terlebih dahulu yang turut merasakan efek dari asap tersebut. Kasus ini bukan kali pertama, tercatat dalam sejarah kebakaran hutan, tejadi beberapa kali kasus kebakaran hutan yang cukup besar sepanjang sejarah, yaitu periode tahun 1982-1983, 1997-1998, dan 2005-2006. Hingga saat ini kasus kebakaran hutan yang terjadi di beberapa titik masih menjadi permasalahan yang belum ditemukan titik terangnya.
Kebakaran hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan bukan hanya berimbas kepada kerugian materil, tetapi juga kerugian moril. Hal ini terbukti dari predikat yang diberikan kepada negara Indonesia, yaitu sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia dan negara penghasil emisi gas terbesar ketiga di dunia.Â
Predikat ini diberikan bukan tanpa bukti, 'State of World's Forest 2007' melaporkan bahwa Indonesia  mengahancurkan 51 kilometer persegi hutan setiap harinya akibat banyaknya kasus kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Sementara itu, berdasarkan hasil riset dari Wetland International mengungkapkan bahwa Negara Indonesia menghasilkan emisi gas CO2 sebanyak 516 metrik ton per tahun.
Kedua predikat yang disandang oleh negara indonesia ini telah menghancurkan predikat Indonesia sebagai negara agraris. Bahkan, negara tetangga, Singapura dan Malaysia telah mengirimkan surat peringatan langsung kepada Presiden Indonesia yang menyatakan bahwa warganya merasa keberatan atas ekspor asap yang tak kunjung mereda dan justru semakin merugikan pihak mereka.Â
Secara khusus, presiden Indonesia kala itu, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan permintaan maaf secara resmi kepada pihak Malaysia dan Singapura atas ketidaknyamanan yang mereka rasakan dan mengatakan bahwa akan ada upaya penanggulangan untuk mengatasi hal tersebut.
Kasus kebakaran hutan ini sebenarnya jika ditilik lebih lanjut, hanya akan diberikan upaya ketika efeknya sudah merambat ke negara lain. Sayangnya, pemerintah Indonesia kurang memperhatikan masyarakat yang bermungkin disekitar hutan. Hal ini tentu mengindikasikan kurangnya kesigapan pemerintah Indonesia dalam menangani masalah kebakaran hutan.Â
Padahal, kasus ini telah terjadi sejak tahun 1982 hingga sekarang di mana kerugian dan efeknya sudah teramat besar. Kasus ini bukan hanya merugikan negara dari sisi materi, tetapi juga merugikan dari sisi kesehatab. Hal ini terlihat dari meningkatkan emisi gas yang dihasilkan akibat asap dan menurunnya produksi oksigen akibat deforestasi yang cepat.
Beberapa kerugian di atas nyatanya belum mampu menggerakkan pemerintah untuk menemukan solusi yang tepat. Besaran biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi permasalahan ini turut menjadi salh satu faktor penyebab pemerintah Indonesia belum memberikan upaya terbaik dalam mengatasi asap dan api yang berkobar. Padahal hampir seluruh populasi di dunia menyatakan bahwa hutan adalah paru-paru dunia  sehingga ketika seseorang mengalami paru-paru yang tidak baik maka akan berefek ke sistem lain.
Berbagai peraturan baik dari pusat maupun daerah terus diperbaharui dan diterbitkan guna menanggulangi permasalahan ini. namun, pada kenyataannya terdapat beberapa peraturan tentang pembakaran hutan yang tidak berada pada satu titik upaya penyelesaian.Â
Pada peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10 Tahun 2010 tentang mekanisme Pencegahan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Berkaitan dengan Kebakaran Hutan/Lahan, notebenenya secara garis besar menggambarkan tentang upaya pencegahan atas pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat pembakaran hutan dan lahan, tetapi ketika ditilik lebih dalam lagi peraturan ini menyatakan adanya perizinan atas praktik pembakaran lahan dengan syarat atas izin dari intansi terkait dan pembakaran lahan tidak diperbolehkan pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan iklim kering (pasal 4 ayat 1-3).
Selain dari peraturan tersebut, terdapat UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di mana pada pasal 69 ayat 2 dinyatakan bahwa "membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing". Hal ini semakin memperkuat asumsi bahwa pembakaran lahan diperbolehkan dengan syarat tidak merugikan pihak terkait. Padahal, jika diasumsikan, pembakaran lahan dengan tujuan untuk membuka lahan perkebunan atau pemukiman memiliki efek jangka pendek berupa perusakan ekosistem dan efek jangka panjangnya adalah produksi gas emisi yang meningkat akan membahayakan bumi dan manusia.